ABNORMALITAS
1. Pendekatan Biologis
Pendekatan biologis
memandang abnormalitas sebagai gangguan internal. Otak, genetik, dan fungsi
neurotransmitter yang menyebabkan abnormalitas. Pendekatan biologis tampak pada
model medis yang mendeskripsikan abnormalitas sebagai penyakit medis dengan
penderita disebut pasien dan ditangani oleh dokter. Oleh karena itu, dalam
pendekatan biologis ini penanganan abnormalitasnya dengan menggunakan terapis
obat.
2. Pendekatan Psikologi
Munculnya abnormalitas
karena adanya factor-faktor psikologi yang terlibat.
a. Sudut
pandang psikodinamika
Sudut pandang
psikodinamika menganggap bahwa gangguan psikologis muncul dari masalah-masalah
yang tidak disadari sehingga menimbulkan kecemasan dan perilaku maladaptif.
Masalah-masalah yang tidak disadari itu muncul ketika masa kanak-kanak awal,
karena tidak terselesaikan masalah-masalah tersebut terdorong masuk ke dalam
id. Konflik seksual juga menjadi kunci memahami prilaku abnormal ini.
b. Sudut
pandang behaviorisme
Sudut pandang ini
menyatakan bahwa abnormalitas terjadi karena sistem reward dan punishment dari
lingkungannya yang tidak pada tempatnya. Hal ini menunjukkan bahwa factor
lingkungan berperan dalam abnormalitas.
c. Sudut
pandang kognitif
Abnormalitas terjadi
karena adanya faktor lingkungan. Namun, fokus pada faktor sosial kognitif yang
berdasarkan pada cara berpikir seseorang tentang pengamatannya,
harapan-harapan, dirinya sendiri, serta lingkungannya.
d. Sudut
pandang sifat
Sudut pandang ini
menyatakan bahwa karakterristik individu merupakan pengukuran terhadap gangguan
psikologis, terutama gangguan kepribadian. Sudut pandang ini menganggap
karakteristik dan perilaku individu yang atipikal dari populasi merupakan
abnormalitas.
e. Sudut
pandang humanistik
Kualitas pribadi
seseorang, kemampuannya bertahan, kebebasannya dalam menentukan tujuan
merupakan fokus dari sudut pandang ini. Abnormalitas muncul karena tekanan dari
lingkungannya yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu untuk mengembangkan
potensinya.
3. Pendekatan Sosio-kultural
Pendekatan ini
memandang bahwa gangguan psikologis muncul karena konteks sosial, seperti
status ekonomi, etnis, gender, budaya, dan sebagainya. Misalnya, gangguan
psikologis muncul pada seorang anggota keluarga. Jika menggunakan pendekatan
ini, maka faktor terjadinya gangguan psikologis adalah ketidak efektifan dari
fungsi keluarga. Individu dengan penghasilan rendah lebih rentan terhadap
gangguan psikologis daripada yang berpenghasilan tinggi.
4. Pendekatan Interaksi (Model Biopsikosial)
Pendekatan ini
menyatakan adanya interaksi antara faktor biologis, psikologi, dan sosial yang
menyebabkan munculnya gangguan psikologis. Ketiga elemen ini membentuk
kombinasi unik yang membedakan satu individu dengan individu lain. Pendekatan
ini menyatakan bahwa diantara faktor-faktor tersebut, tidak ada yang dianggap
lebih penting karena ketiga faktor tersebut saling memengaruhi satu sama lain.
B.
Gangguan Suasana Perasaan (Mood Disoder)
Contoh Kasus:
Katie
adalah seorang anak yang menarik namun pemalu. Selama beberapa tahun, ia jarnag
berinteraksi kecuali dengan keluarganya karena kecemasan sosial yang tinggi.
Kontak sosialnya terus menurun dan saat umur 16 tahun ia menderita depresi
menyeluruh. Depresi yang dialaminya seperti jatuh ke dalam lubang namun tidak
ada yang menolongnya ketika ia menjerit.
Tahun-tahun sebelumnya,
Katie sering menangis berjam-jam di malam hari. Orangtuanya kemudian pun
mengizinkannya minum minuman beralkohol. Kebiasaan ini semakin lama semakin
parah. Suatu ketika Katie merasa lelah dengan kecemasan dan depresi yang datang
pergi. Ia mulai memikirkan tentang bunuh diri. Dalam waktu singkat ia
memutuskan hubungan inerpersonalnya. Ia susah diajak bicara dan emosional.
Suatu hari, ia bertengkar dengan ibunya karena hal sepele. Ia pun marah dan
masuk ke kamarnya. Ia kemudian minum vodka yang sangat banyak hingga tidak
merasa sakit ketika mencubit dirinya. Ia kemudian memotong urat nadinya. Ia
tidak merasakan apapun kecuali perasaan hangat ketika darah mengalir. Secara
tiba-tiba, ia tidak yakin bahwa itu dapat membunuhnya. Ia pun meminta ibunya
menghentikan pendarahan.
Secara bertahap,
kehidupannya mengalami kemunduran. Ia tidak mendapat penanganan yang baik.
Ketika ia dapat mengatasi emosinya dengan baik, ia pun mengikuti kursus dan
sadar bahwa ia suka belajar. Suatu hari cintanya bertepuk sebelah tangan. Ia
pun kembali minum minuman keras dan ketika sadar, tubuhnya dipenuhi muntahannya
sendiri. Ia sadar itu dapat membunuhnya dan ia belum yakin mau mati.
Katie kemudian merubah
cara pandang hidupnya. Ia menganggap periode depresinya sebagai bagian dirinya
namun bukan seluruh dirinya. Ia berusaha fokus pada tujuan-tujuan hidupnya. Ia
juga meyakini jika satu strategi gagal, maka masih ada strategi yang bisa
dicapai.
1. Pengertian
Gangguan suasana
perasaan adalah gangguan psikologis yang ditunjukkan dengan adanya penyimpangan/deviasi pada suasana perasaan (mood) manusia dan berlangsung lama dalam emosionalitas. Gangguan
suasana perasaan ini termasuk gangguan psikologis yang paling sering ditemui
manusia terutama oleh orang muda.
Gangguan suasana
perasaan umumnya ditandai dengan munculnya depresi
dan mania. Depresi dapat terjadi
sendiri dalam bentuk depresi berat (major depressive episode ) sedangkan
mania biasanya muncul secara bergantian
dengan depresi dalam selang waktu tertentu. Berikut ini akan dijelaskan satu
per satu episode tersebut :
a. Depresi
berat (major depressive episode)
DSM-IV-TR
menyatakan bahwa depresi berat adalah keadaan dengan suasana perasaan yang
paling ekstrem yang dapat berlangsung hingga kurang lebih dua minggu. Jika
tidak mendapat penanganan, episode depresi berat ini akan berlangsung paling
lama 9 bulan dan kemudian akan hilang dengan sendirinya(Eaton dkk ,1997;
Tollefson, 1993).
Individu yang mengalami episode depresi
berat biasanya mengalami gejala-gejala
kognitif dan terganggunya fungsi fisik. Indikator yang paling utama dari
episode depresi berat ini adalah perubahan fisik (gejala somatik/vegetatif) dan
behavioral and emotional “shut down” (perilaku
dan emosi yang “padam”).
Gejala –gejala kognitif dapat berupa perasaan
tidak berharga, perasaan bersalah, hilangnya ketertarikan terhadap segala hal
atau ketidakmampuan merasakan kesenangan dalam kehidupannya (anhedonia). Individu biasanya meyakini
bahwa masa depannya akan suram dan tidak melihat adanya alasan untuk hidup,
yang menyebabkan munculnya pikiran-pikiran untuk mati dan bunuh diri. Selain
itu , tidak munculnya rasa belasungkawa karena kehilangan / kematian seseorang.
Kesenangan dalam
hidup dapat berupa interaksi / hubungan dengan teman atau keluarga, prestasi di
sekolah maupun di tempat kerja. Dalam episode depresi berat, Anhedonia merupakan gejala yang lebih
menonjol dibandingkan gejala-gejala lainnya seperti kesedihan , distress (Kasch dkk,2002) ,
ataupun kecenderungan untuk menangis
(kebanyakan wanita) (Rottenberg, Gross, wihelm, Najmi, dan Gotlib,
2002). Anhendonia ini menunjukkan bahwa dalam episode depresi berat , seorang
indvidu memeiliki afek positif yang rendah dan afek negatif yang tinggi (Kasch
dkk,2002).
Gangguan
fungsi fisik yaitu segala jenis perubahan negatif yang terjadi pada fisik atau
tubuh individu pederita depresi berat.
Gangguan fisik yang umumnya terjadi adalah perubahan pola tidur,
perubahan nafsu makan, penurunan berat badan yang signifikan, kehilangan
energi, insomnia, serta penurunan konsentrasi dan kemampuan berpikir.
b. Mania
(manic episode)
Mania adalah
keadaan yang berlawanan dari episode depresi. Mania merupakan gangguan suasana
perasaan yang dinikmati oleh penderita tetapi sebenarnya merugikan diri sendiri
dan orang di sekitarnya. Pada mania,
suasana perasaan individu berupa kegirangan, kegembiraan atau euphoria
yang eksesif. Individu merasa kegembiraan luar biasa, aktif luar biasa
(hiperaktif) , dan hanya memerlukan sedikit tidur. Individu dalam episode mania
umumnya merencanakan berbagai hal-hal luar
biasa dan yakin bahwa mereka dapat mencapainya. Biasanya individu akan berusaha
mengungkapkan rencana mereka sekaligus sehingga ucapan mereka menjadi tidak
koheren dan sangat cepat. Keadaan ini disebut flight of ideas.
DSM-IV-TR
mensyaratkan durasi satu minggu atau kurang dari satu minggu ( episode yang
cukup parah) bagi individu untuk menunjukkan bahwa ia membutuhkan
perumahsakitan. Hal ini biasa dilakukan jika individu mulai melakukan sesuatu
yang merusak dirinya sendiri, jika ada anggota keluarga atau kerabat dekat yang
ingin mengontrol si individu, maka ia bisa saja menolak dengan emosi tinggi.
Jika tidak mendapatkan penanganan, episode durasi akan berlangsung 3-6 bulan
(Goodwin dan Jamison, 1990; Angst dan Sellaro, 2000).
Contoh: seorang
individu terlibat belanja dengan hutang ribuan dolar Amerika dengan harapan
akan menghasilkan jutaan dolar keesokan harinya.
2. Jenis-jenis
Gangguan Suasana Perasaan
Ada beberapa jenis gangguan suasana
perasaan pada individu. Jenis-jenis tersebut dibagi berdasarkan tingkat
keparahan depresi atau mania, dan ada tidaknya episode depresi dan mania pada
individu.
Berdasarkan
frekuensinya, episode-episode depresi terbagi atas:
a.
Major
Depressive Disorder, Single Episode
Keadaan dimana
individu hanya mengalami episode depresi saja tanpa adanya episode manik atau
hipomanik sebelum dan sesudah gangguan. Episode depresi yang hanya terjadi
sekali seumur hidup sangatlah jarang terjadi. (Angst dan Preizig,1996 ; Judd,
1991,2000; Mueller dkk,1999; Solomon dkk,2000)
b. Major Depressive Disorder,
Recurrent
Keadaan dimana
individu mengalami episode depresi yang muncul lebih dari sekali. Episode yang
termasuk terpisah dari episode sebelumnya adalah episode yang muncul lagi
setelah kurang lebih 2 bulan dari episode pertama, dimana dalam dua bulan
tersebut individu tidak mengalami gejala depresi.
Episode-episode mania
terbagi atas:
a. Hypomanic Episode
Episode manic yang
tidak begitu berat seperti manik penuh. Episode ini tidak menyebabkan masalah,
hanya berperan dalam gangguan suasana perasaan seorang individu.
b. Mixed Manic Episode/ Dysphoric
Episode
Keadaan dimana seorang
yang merasakan kegirangan (manik) juga merasakan depresi / kecemasan dalam
waktu yang sama.
Berdasarkan ada tidaknya
depresi dan mania pada individu, gangguan suasana perasaan terbagi atas:
a. Unipolar Mood Disorder (Gangguan Suasana Perasaan Unipolar)
Keadaan dimana individu
hanya menderita depresi atau mania saja. Mania dapat terjadi secara unipolar
tetapi jarang. (Solomon dkk, 2003).
b. Dysthymic disorder (gangguan
distimik)
Suasana perasaan
depresi pada seorang individu yang
berlangsung pada individu paling tidak selama 2 tahun. Gangguan ini serupa dengan depresi berat namun lebih ringan
dan lebih lama.
c. Double Depression (Gangguan Depresi Ganda)
Gangguan pada individu
yang ditandai dengan adanya episode-episode depresi berat yang dilatarbelakangi
adanya gangguan distimik.
d. Bipolar Mood Disorder (Gangguan Suasana Perasaan Bipolar)
Keadaan dimana episode
depresi dan episode mania mucul secara bergantian dalam periode dan selang
waktu tertentu. Individu biasanya naik turun dari puncak kebahagiaan yang
meluap-luap ke dasar keputusasaan yang mendalam.
Gangguan bipolar ini
terbagi dua ,yaitu :
·
Gangguan Bipolar I
Gangguan bipolar I
adalah pergantian antara episode depresif
berat dengan episode manik penuh.
·
Gangguan Bipolar II
Gangguan bipolar II
adalah pergantian antara episode depresif
berat dengan episode hypomania.
e. Cyclothymic Disorder (Gangguan Siklotimik)
Keadaan yang lebih
ringan namun lebih kronis dari gangguan bipolar. Penderita gangguan ini
mengalami gejala depresi ringan (distimia) dan
episode hipomania secara bergantian.
Penderita gangguan ini
cenderung berada di salah satu episode selama bertahun-tahun, serta cenderung
sangat sedikit periode dengan suasana perasaan yang netral (eutimia).
Penderita gangguan ini
berisiko mengembangkan gangguan bipolar
yang lebih berat.
3.
Pola Perkembangan Gangguan Suasana Perasaan
Terdapat tiga jenis specifiers yang menyertai mania dan
depresi berulang yang juga menunjukkan adanya perbedaan penanganan dengan
pola-pola yang berbeda.
a. Longitudinal course spicifiers
Pola ini mencari tahu
apakah penderita depresi berat pernah mengalami episode yang sama sebelumnya.
Apakah si penderita pernah mengalami gangguan distimia atau siklotimik
sebelumnya? Begitu juga keterangan ada tidaknya kesembuhan total antara
episode-episodenya. Keterangan yang diperoleh sangatlah penting terutama dalam
tahap penanganannya.
b. Rapid-cycling spicifiers
Pola ini hanya
berlaku untuk gangguan bipolar. Orang yang dianggap memiliki pola siklus yang
cepat apabila individu tersebut mengalami episode depresi atau mania minimal 4
kali dalam setahun. Beberapa ahli menyatakan bahwa tiingkat percobaan bunuh
diri akan lebih tinggi. Beberapa bukti juga menyatakan bahwa penderita dengan
pola inin perlu diberikan obat antikonvulsan dan mood stabilizer (penstabil suasana perasaan).
McElroy dan Keck
(1993)menyatakan bahwa penderita dengan siklus yang cepat umumnya dimulai
dengan episode depresi berat dan bukan episode manic . Umumnya, frekuensi
siklus yang cepat meningkat dari waktu ke waktu dan mencapai keadaan berat
dimana individu mengalami episode depresi dan manic tanpa istirahat. Pergantian
episode yang langsung terjadi ini disebut rapid
switching (pergantian yang cepat) atau rapid
mood switching (pergantian suasana perasaan yang cepat). Siklus yang cepat
ini umumnya akan berubah ke siklus yang tidak cepat dalam waktu 2 tahun (Coryell dkk, 2003).
c. Seasonal pattern spicifiers
Pola ini berlaku pada
gangguan bipolar dan depresi berat berulang. Gangguan suasana yang muncul
tampaknya dipengaruhi oleh musim. Pola yang paling umum adalah munculnya
episode depresi pada akhir musim gugur dan akan berakhir pada awal musim semi.
Pada gangguan bipolar, episode depresi berat akan muncul pada akhir musim gugur
dan menjadi episode manic pada musim panas. Keadaan ini disebut juga Seasonal Affective Disorder (gangguan
afektif musiman).
Sebagian besar dari gangguan perasaan musiman
ini melibatkan depresi musim dingin (winter
deppresion). Depresi musim dingin
ini cukup berbeda dari episode depresif berat. Orang yang mengalami depresi
musim dingin cenderung tidur telalu banyak ,nafsu makan meningkat yang
menyebabkan berat badan meningkat.
Bukti-bukti menunjukkan
bahwa penyebab dari SAD ini adalah karena meningkatnya produksi hormon
melatonin pada tubuh. Hormon melatonin ini disekresikan oleh kelenjar pineal
pada malam hari dan akan meningkat produksinya pada musim salju karena
kurangnya cahaya matahari. Satu satunya teori yang dapat mendukung adalah
produksi melatonin dapat memicu depresi pada orang yang rentan. (Goodwin dan
Jamison,1990 ; Lee dkk, 1998)
4.
Prevalensi Gangguan Suasana Perasaan
Beberapa studi telah
menunjukkan bahwa adanya prevalensi gangguan suasana perasaan. (Kessler
dkk,1994 ; Weisman dkk ,1991) Studi itu menyatakan adanya perbedaan kerentanan
gangguan suasana perasaan pada individu. Perbedaan itu dapat ditemukan antar
gender, umur , ataupun social. Berbagai
ahli telah sepakat bahwa wanita memiliki kemungkinan dua hingga tiga kali lebih
tinggi daripada pria untuk menderita depresi berat dan distimia. Sedangkan
untuk gangguan bipolar, wanita dan pria mempunyai kemungkinan yang sama.
a. Prevalensi
depresi
Masyarakat luas
berasumsi bahwa bahwa bayi dan anak-anak tidaklah mungkin mengalami depresi.
Ini dikarenakan masyarakat percaya bahwa seorang dapat mengalami depresi
apabila mengalami suatu masalah berat. Pada kenyataannya , bayi dan anak-anak
juga dapat mengalami depresi. Field dan kawan kawan (1988) menyatakan bahwa
bayi dari ibu-ibu depresi memperlihatkan perilaku depresif yang nyata ,seperti
: wajah sedih, gerakan yang lamban, kurang responsif. Pada anak-anak, adalah hal yang normal
apabila suasana perasaannya terus berfluktuasi. Seorang remaja akan mengalami
depresi apabila aktivitasnya dibatasi karena sakit atau cedera.
Gangguan depresi pada
dasarnya tidak terlalu sering pada anak-anak. Namun kemungkinanya meningkat
tajam ketika anak mencapai tahap remaja. Pada anak-anak belia, gangguan
distimia lebih sering terjadi, sedangkan pada remaja depresi berat memiliki
kemungkinan yang lebih tinggi. Fakta menyatakan pada masa anak-anak, anak
laki-laki memilike kemungkinan lebih tinggi untuk mengalami depresi sedangkan
pada masa remaja,depresi berat lebih banyak
dialami oleh remaja putri.
Fergusson dan Woodward
mengidentifikasikan remaja mengembangkan depresi pada umur 14-16 tahun dan akan
berkembang menjadi depresi berat pada umur 16-21 tahun. Remaja-remaja ini
umumnya berisiko mengembangkan gangguan kecemasan, ketergantungan obat-obatan,
nikotin dan alkohol, percobaan bunuh diri, educational
underachievement (prestasi lebih rendah dari potensi sebenarnya ) dan
terlalu dini menjadi orangtua.
Pada lanjut usia,
lansia yang menderita depresif berat cenderung menjadi kronis bila episode
pertama muncul pada umur 60 tahun. Setelah umur 65 tahun, kemungkinan depresi
antar wanita dan pria telah menjadi sama. Depresi pada lansia sulit untuk
didiagnosis karena kemunculan gangguan suasana perasaan diperkompleks
,misalnya, dengan kemunculan keadaan sakit atau gejala medis demensia/kepikunan (Blaze,1989 ; Small
1991) . Faktor penyebab depresi yang paling kuat pada lansia adalah karena
kurangnya dukungan sosial dan hilangnya independensi akibat sakit.
b. Prevalensi
mania
Untuk mania,
anak-anak berumur kurang dari 9 tahun umumnya menunjukkan lebih banyak emosi
dibandingkan episode mania. Keadaan ini sering disalahartikan sebagai gejal hiperaktivitas. Remaja memiliki
kemungkinan menunjukkan gejala mania yang lebih tinggi.
c.
Prevalensi gangguan bipolar
Gangguan bipolar
jarang terjadi pada masa kanak-kanak. Beberapa kasus gangguan bipolar pada
anak-anak sering disalah-artikan sebagai conduct
disorder ( gangguan tingkah laku) atau attention
deficit / hyperactivity disorder (ADHD) (gangguan pemusatan perhatian
dengan hiperaktivitas). Prevalensi gangguan bipolar juga akan meningkat tajam
pada masa remaja. Kebanyakan penderita gangguan bipolar juga mengakui bahwa
onset pertama mereka adalah saat berumur belasan tahun. (Keller dan Wundt,1990).
5. Tumpang Tindih
antara Kecemasan dan Depresi
Beberapa ahli
menyimpulkan bahwa kecemasan dan depresi adalah dua hal yang mirip. Hal ini
bertolak belakang dimana seseorang merasakan hal yang berbeda ketika merasa
cemas atau mengalami depresi.
Penelitian
menyatakan “Hampir semua orang yang mengalami depresi , juga mengalami kecemasan.
Tetapi tidak semua orang yang mengalami gangguan kecemasan juga mengalami
depresi”(Barlow dkk, 2002) . Ini
berarti bahwa gejala inti dari depresi tidak ditemukan pada kecemasan, dan
merupakan gejala depresi murni. Beberapa gejala yang menandai gejala depresi
dan kecemasan disebut gejala afek negatif
karena bukan merupakan gejala spesifik dari suatu gangguan (Brown dkk ,1998
; Telegan ,1985). Gejala afek ini lebih ringan dibandingkan kecemasan atau
depresi penuh , namun mempertinggi risiko akan gangguan yang lebih berat.
Gejala-gejala
depresif murni yaitu :
a.
Tidak mampu merasakan kesenangan
b.
Merasa tak berdaya
c.
Kehilangan interes
d.
Pikiran bunuh diri
e.
Hilangnya libido
Gejala-gejala kecemasan murni yaitu :
a.
Ketegangan
b.
Gugup
c.
Gemetaran
d.
Kekhawatiran sekali
e.
Mimpi buruk
Gejala-gejala
afek negatif yaitu :
a.
Insomnia
b.
Tidur tidak memuaskan
c.
Kekhawatiran
d.
Konsentrasi buruk
e.
Menangis
f.
Mengantisipasi kemungkinan terburuk
g.
Perasaan bersalah
h.
Perasaan tidak berharga
i.
Letih
j.
Kemampuan mengingat buruk
6. Penyebab
Gangguan Suasana Perasaan
Para
psikopatologis menyatakan bahwa ada beberapa faktor atau penyebab munculnya
gangguan suasana perasaan. Dalam hal ini berlaku prinsip equifinality,
yaitu sebagai hasil yang sama dari berbagai penyebab yang berbeda.
Faktor-faktor penyebab depresi meliputi faktor biologis, psikologis, dan
sosial. Teori integratif kemudian juga mempertimbangkan adanya interaksi
dimensi-dimensi biologis, psikologis dan sosial.
a. Faktor Biologis
Adanya
kontribusi genetik untuk gangguan tertentu. Dalam penelitian digunakan strategi
family studies and twins studies.
·
Keluarga dan Genetik
Penelitian
menemukan bahwa dalam suatu keluarga, angka anggota keluarga yang diketahui
memiliki gangguan (proband) dua
sampai tiga kali lebih tinggi dibandingkan anggota keluarga yang tidak ada
gangguan(Gershon,1990 ; Klein dkk, 2002 ). Bukti terbaik ditemukan dari studi
dengan orang kembar. Sejumlah studi menyatakan, jika salah satu anak kembar menderita gangguan suasana
perasaan, maka kemungkinan pasangan kembarnya juga mengalami gangguan pada
kembar identik adalah tiga kali lebih tinggi dari pasangan kembar non identik.
Tingkat keparahan dari gangguan ini bergantung pada concordance (seberapa
banyak sesuatu dimiliki bersama )dari
pasangan kembar tersebut.
McGuffin dan
kawan-kawan (2003) menyatakan bahwa penderita gangguan bipolar juga secara
genetik rentan terhadap depresi dan secara independen rentan terhadap mania. Berbagai
bukti juga menunjukkan adanya kerentanan genetik yang mendasari gangguan
suasana perasaan, terutama pada perempuan.
Gangguan
kecemasan dan depresi juga dipengaruhi oleh sel yang sama sehingga menjadi alasan mengapa kedua
gangguan ini dikatakan mirip. Adanya perbedaan antara penderita yang mengalami
depresi dengan yang mengalami kecemasan dipengaruhi faktor psikologis dan
faktor sosial.
·
Sistem Neurotransmitter
Sistem
neurotransmitter memiliki banyak subtipe dan saing berinteraksi dengan cara
yang kompleks. Peneliti menyatakan tingkat serotonin yang rendah sebagai
penyebab gangguan suasana perasaan dari segi hubungannya dengan
neurotransmitter, seperti norepinefrin dan dopamine (Goodwin dan Jameson, 1990
; Spoont ,1992). Fungsi primer dari
serotonin adalah mengatur reaksi emosional manusia. Menurut hipotesis “
permisif ” , ketika tingkat serotonin rendah, neurotransmitter lainnya
“diizinkan” (permitted) untuk membuat
kisaran yang lebih luas, menjadi disregulasi yang menyebabkan ketidakteraturan
suasana perasaan (mood irregularities
).
·
Sistem Endokrin
Pasien penderita
penyakit yang memengaruhi sistem endokrin kadang-kadang juga mengalami depresi.
Contohnya hipotiroidisme, atau Cushing’s
disease, yang mengakibatkan sekresi eksesif kortisol. Kortisol merupakan
hormon stress yang meningkat selama peristiwa stressful. Meningkatnya tingkat kortisol akan menyebabkan stress
pada penderita.
·
Ritme Tidur dan Sirkadian
Gangguan tidur
telah menjadi salah satu gejala bagi kebanyakan gangguan suasana perasaan. Telah
dibahas sebelumnya bahwa penderita SAD mengalami gangguan tidur yang berupa
waktu tidur yang bertambah. Sedangkan pada penderita depresi ,hanya ada waktu
yang lebih pendek secara signifikan sebelum tidur REM dimulai. Tahapan tidur
sebelum tidur REM, tahapan tidur yang paling nyenyak, hanya berlangsung pendek
atau tidak sama sekali.
Sebuah temuan
menarik yaitu bahwa pasian yang mengalami deprivasi tidur menyebabkan
terjadinya perbaikan temporer pada kondisinya(Giedke dan Schwarzler, 2002 ;
Wehr dan Sack,1988 ). Ketika mereka mulai tidur dengan normal, maka depresinya
akan muncul kembali.
·
Aktivasi Gelombang Otak
Dalam otak
terdapat tipe aktivitas gelombang otak, gelombang alpha, yang mengindikasikan
perasaan tenang dan positif. Para peneliti mencatat bahwa adanya aktivasi alfa
yang lebih besar pada anterior sebelah kanan pada penderita depresi. Aktivitas
alfa ini juga ditemukan pada orang yang tidak lagi mengalami depresi (Gotlib,
Ranganath, dan Rosenfeld, 1998). Peneliti
menyimpulkan bahwa fungsi otak itu telah ada sebelum individu mengalami
depresi dan merepresentasikan kerentanan terhadap depresi. Bila temuan ini
mendapat konfirmasi, maka fungsi otak seperti ini dapat menjadi indikator
kerentanan biologis terhadap depresi.
b.
Faktor
Psikologis
Faktor penyebab
gangguan yang merupakan pengalaman pribadi setiap individu.
·
Kesedihan
Depresi berat yang
muncul akibat kehilangan atau kematian seseorang adalah hal yang biasa yang
tidak dikategorikan sebagai gangguan. Namun berbeda halnya apabila muncul
gejala-gejala berat seperti pikiran bunuh diri, tidak berdaya akibat kehilangan
berat badan secara signifikan dan kehilangan energi.
Para professional
menjadi khawatir apabila seorang individu tidak berduka ketika orang yang
dicintainya meninggal. Ini karena kesedihan merupakan cara alamiah untuk
menghadapi dan mengatasi kehilangan yang
dialami. Namun, jika kesedihan berlangsung lebih lama dari durasi normalnya,
maka hal itu juga akan menjadi sebuah gangguan.
Kesedihan yang terlalu
dalam dapat mengubah respons dukacita normal menjadi pathological grief reaction (reaksi berkabung patologis) atau impacted grief reaction (reaksi
berkabung yang menghimpit). Gejala yang paling menonjol yaitu ingatan instrusif
dan kerinduan yang sangat kuat yang menyebabkan distress terhadap orang yang
dicintai dan menghindari orang atau tempat yang mengingatkan pada orang yang
dicintai itu (Horowitz dkk,1907).
·
Peristiwa Hidup yang Stressful
Stress dan trauma
merupakan dua penyebab utama gangguan depresi. Dalam mengetahui penyebab depresi
kita umumnya mencari tahu apa peristiwa stressful
dan traumatik yang pernah muncul. Namun sebenarnya kita perlu mengetahui apakah
konteks dan makna dari kejadian tersebut bagi individu tersebut. Suatu kejadian
pemicu yang sama dapat memberikan akibat yang berbeda bagi individu yang
berbeda.
Meskipun konteks dan
makna lebih penting daripada kejadiannya, ada juga kejadian yang sangat mungkin
menjadi penyebab depresi tanpa perlu diketahui makna dan konteksnya. Salah
satunya adalah putus-hubungan, yang
sulit dihadapi remaja (Monroe dkk, 1999) maupun orang dewasa (Kendler
dkk,2003). Pada seorang pasangan kembar,
bila salah seorang pasangan kembar mengalami kehilangan, maka kemungkinan ia
menderita depresi 10 kali lipat lebih tinggi dari pasangan yang tidak mengalami
kehilangan. Jika seseorang merasa terhina akan kehilangannya (contoh :
ditinggal pasangan yang selingkuh dengan orang lain), maka kemungkinan
depresinya adalah 20 kali lipat lebih tinggi.
Kejadian hidup yang
stressful mungkin berperan dalam memicu mania atau depresi awal. Ketika
gangguan itu berkembang, episode-episode yang ada akan berkembang dengan
sendirinya dan proses fisiologis akan memastikan bahwa gangguan itu terus
berlanjut (Post dkk, 1993). Kejadian hidup yang stressful tidak hanya memancing
timbulny gangguan, juga mencegah terjadinya kesembuhan (Johnson dan
Miller,1997).
·
Learned
Helplessness
Individu akan menjadi
cemas dan depresi saat mereka memutuskan dan membuat atribusi bahwa mereka
tidak memiliki control atas stress yang mereka alami (Abrahamson, Seligman dan
Teasdale,1879 ; Miller dan Norma , 1979). Teori ini kemudian menjadi Learned helplessness theory of depression.
Hal yang paling utama
yaitu kecemasan adalah respons yang utama dalam mengatasi situasi stressful.
Depresi muncul dari keputusaasaan tentang kemampuan mengatasi kejadian hidup
yang sulit (Barlow , 1988,2002).
Style
atribusional depresif bersifat:
-
Internal :Meyakini semua kejadian negative akibat
ketidakmampuan sendiri.
-
Stabil :Atribusi semua
kejadian negatif akibat diri sendiri tetap ada meskipun telah berlalu.
-
Global :Atribusi semua
kejadian negatif akibat diri sendiri meluas ke berbagai isu.
Bukti-bukti kemudian
menunjukkan bahwa style atribusional
negatif ini tidak khas pada depresi melainkan ciri-ciri pasien kecemasan
(Hankim dan Abramson,2001 ; Heimberg dkk, 1989; Barlow 2002). Para ahli juga
menambahkan bahwa baik penderita depresi maupun kecemasan merasa tidak berdaya
dan percaya mereka tidak memiliki control. Namun, hanya penderita depresi yang
kemudian putus asa, menyerah dan merasa tidak mungkin bisa mendapat control
mereka kembali.
·
Negative
Cognitive Style
Aaron T.Beck menyatakan
bahwa depresi juga dapat muncul dari kecenderungan menginterpretasikan kejadian
sehari-hari secara negatif. Penderita depresi umumnya merasa bahwa kemunduran
sekecil apapun merupakan bencana besar. Paul Hewitt dan Gordon Flett menyatakan
bahwa seorang yang perfeksionis rentan mengalami depresi hanya karena kegagalan
kecil dalam pekerjaannya. Seseorang yang perfeksionis dalam interaksi sosial
juga dengan mudah mengalami depresi apabila hubungan sosialnya tidak berjalan
dengan baik . Gotlib(1992) menyatakan : “it
is not bad things happening to us that is upsetting, it is our interpretation
of them that makes all the difference”.
Dua tipe cognitive errors pada pasien depresi
yaitu :
-
Arbitrary
inference : pengambilan
kesimpulan yang membabi buta dimana seseorang menyimpulkan sebuah situasi dari
aspek-aspek negative bukan aspek-aspek positif.
-
Overgeneralization
: generalisasi yang berlebihan.
Penderita depresi
selalu berpikir negatif tentang dirinya sendiri, dunianya, dan masa depannya ,
atau tiga bidang yang disebut depressive
cognitive triad (tiga serangkai kognisi depresif). Penderita juga cenderung
mengembangkan skema negatif yang
bersifat “ menyalahkan diri sendiri” atas semua hal buruk yang terjadi. Cognitive errors dan skema negatif ini
tidak disadari penderita bahwa cara berpikirnya negative dan tidak logis.
Kejadian-kejadian negative yang sepele dapat menimbulakn episode depresif yang
berat.
c.
Faktor Sosial
dan Kultural
·
Hubungan Perkawinan
Gangguan/disrupsi dalam
sebuah hubungan sering menyebabkan depresi, termasuk perkawinan yang tidak
memuaskan. Tingkat depresi pada wanita yang mengalami perpecahan
perkawinan tiga kali lebih tinggi
daripada yang perkawinannya utuh. Sedangkan pada pria sembilan kali lebih
tinggi. Dengan kata lain, apabila terjadi perceraian pada sebuah perkawinan,
maka laki-laki menghadapi resiko yang lebih besar untuk mengembangkan
perkawinan.
Temuan penting dari
kelompok Monroe (1986) yaitu perlunya membedakan antara marital conflict (konflik perkawinan) dan marital support(dukungan perkawinan). Temuan lain juga menemukan
bahwa depresi yang berlanjut pada seorang individu dapat mengakibatkan
kemunduran substansial dalam perkawinan.
Konflik dalam
perkawinan memiliki efek yang berbeda bagi pria dan wanita. Depresi akan
membuat pria menarik diri dan merusak hubungan perkawinan. Sedangkan bagi
wanita, konflik dalam perkawinan cenderung membuat dirinya mengalami depresi.
·
Gangguan Suasana Perasaan pada Perempuan
Penelitian menunjukkan
bahwa hampir 70% penderita gangguan depresi dan distimia adalah perempuan.
Ketidakseimbangan ini terjadi di seluruh dunia dengan persentase yang berbeda.
Barlow (1998,2002) menyatakan ketidaksetaraan ini disebabkan ketidakmampuan mengontrol
yang ada pada pria tetapi tidak pada wanita . Perbedaan ini karena faktor
kultural dalam masyarakat. Laki-laki didorong untuk mandiri dan masterful , sedangkan perempuan
diharapkan lebih pasif, sensitif, dan
lebih bergantung pada orang lain.
Dependansi dan
kepasifan wanita membuat dirinya berisiko akan gangguan emosional karena
meningkatkan perasaan tidak dapat mengontrol dan perasaan tidak berdaya mereka.
Constance Hammen berpendapat bahwa nilai yang ditanamkan perempuan dalam sebuah
hubungan intim membuat mereka berisiko. Jika terjadi gangguan dalam hubungan
intim tersebut , maka perempuan dengan perasaan tidak berdayanya akan lebih parah “kerusakannya” daripada pria.
Akan tetapi jika gangguan dalam hubungan itu mencapai tahap perceraian, maka “kerusakan”
pada pria lebih parah.
Perbedaan tingkat
depresi antar laki-laki dan perempuan juga dikarenakan perbedaan cara mengatasi
masalah. Perempuan cenderung terus memikirkan masalah yang ada dan yakin bahwa
masalah yang terjadi merupakan kesalahannya . sedangkan pria cenderung
menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas untuk menyingkirkan perasaannya dari
pikiran (Jacobson dkk, 2001 ; Lewinsohn dan Gotlib, 1995).
·
Dukungan Sosial
The
evil eye atau kekurangan dukungan social di masa tua
merupakan salah satu penyebab dari kematian dini. Semakin tinggi frekuensi dan
semakin banyaknya hubungan da kontak social kita, maka semakin tinggi pula
harapan kita (House dkk,1988). Ini menyatakan bahwa pentingnya dukungan social
bagi penderita depresi terutama dalam proses penyembuhannya. Jaringan
pertemanan dan keluarga yang suportif secara social membantu terjadinya
kesembuhan yang cepat dari episode depresif tetapi tidak untuk episode manik.
d.
Teori Integratif
Pada dasarnya, depresi dan
kecemasan mungkin memiliki kerentanan biologis yang setara yang ditentukan
secara biologis. Kerentanan yang dimaksud adalah kerentanan untuk mengembangkan depresi/kecemasan itu
sendiri , bukan kerentanan akan depresi /kecemasan. Orang yang mengembangkan kerentanan gangguan
suasana perasaan ini juga mengalami kerentanan psikologis dimana ia merasa
tidak mampu mengatasi kesulitan yang dihadapi.
Penyebab dari kerentanan psikologis ini dapat diacak dari dari
pengalaman adversif pada anak, seperti kesengsaraan . Taylor dan Ingram (1999)
menyatakan bahwa anak dari ibu yang depresi memiliki konsep diri yang kurang
positif dan pemrosesan informasi secara negatif.
Teori integrative menyatakan bahwa
adanya interaksi antara faktor biologis, psikologis dan sosial yang memengaruhi
perkembangan gangguan suasana perasaan. Seseorang dengan kerentanan biologis juga memiliki kerentanan psikologis, dimana dengan kejadian stressful akan menyebabkan aktifnya hormon stress, masalah
dalam hubungan interpersonal, kurangnya dukungan sosial dan akan membuat seseorang itu mengalami gangguan suasana
perasaan.
7.
Penanganan Gangguan Suasana Perasaan
Hingga saat ini, masih
banyak kasus depresi yang tidak ditangani dengan semestinya. Faktor utamanya
yaitu karena professional perawat kesehatan dan pasien tidak dapat mengenali
dan mendiagnosis depresi dengan benar. Selain itu, mereka tidak menyadari
adanya penanganan-penanganan yang
efektif dan berhasil (Hirscfeld dkk,1997).
Ada beberapa jenis cara
menangani depresi, yaitu :
a. Pengobatan
Pengobatan depresi
menggunakan 3 jenis antidepresan dan lithium. Namun penanganan dengan obat
yang efektif pada orang dewasa belum tentu efektif pada anak (American
Psychiatric Association ,2000). Tujuan dari pemberian obat pada dasarnya untuk
menunda episode depresif berikutnya .
Ada 3 jenis
antidepresan yang digunakan. Antidepresan trisiklik, memengaruhi kerja
neurotransmitter. Obat ini cenderung menimbulkan efek samping, seperti :
penglijatan kabur, mulut kering, sulit buang air kecil, kantuk, dan pertambahan
berat badan. Obat ini juga bersifat mematikan dengan dosis yang berlebih.
Inhibitor monoamine oxidase (MAO), bekerja dengan
cara memogokkan neurotransmitter. Obat jenis ini jarang digunakan karena dapat
memicu episode hipertensi berat dan
kematian, jika penderita mengonsumsi makanan atau obat tertentu.
Selective serotonine reuptake inhibitor (SSRI), bekerja dengan cara
meningkatkan tingkat serotonin secara temporer.
Antidepresan jenis ini memiliki efek samping seperti disfungsi seksual ,
hasrat seksual yang menurun insomnia, dan masalah pencernaan.
Lithium merupakan salah
satu jenis garam di alam. Lithium berfungsi
untuk mengatasi episode manik. Lithium banyak digunakan untuk penstabil
suasana perasaan (mood stabilizing drug)
dan menangani gangguan bipolar. Dalam beberapa kasus, penderita tidak mau
mengonsumsi obat ini karena menikmati fase-fase euphoria tersebut.
b. Terapi
elektrokonvulsif dan simulasi magnetic transkrania (TMS)
Penanganan biologis
untuk depresi besar dan kronis yang melibatkan pemberian impuls-impuls listrik
melalui otak untuk memproduksi seizure
(kejang-kejang). Efek samping yang muncul adalah hilangnya ingatan sementara.
TMS bekerja dengan meletakkan gulungan magnet di atas kepala untuk
membangkitkan denyut elektromagnetik yang dialokasikan dengan tepat. Efek
samping berupa sakit kepala.
c. Penanganan
psikologis
Dua penanganan
psikologis murni adalah pendekatan
kognitif-behavioral oleh Aaron T. Beck dan psikoterapi interpersonal oleh Myrna Weissman dan kawan-kawan.
·
Terapi
kognitif-behavioral
Klien diinstrusikan
untuk monitor dan mencatat proses berpikir mereka terutama dalam situasi ketika
mereka merasa depresi. Penangannya dengan cara mengganti pikiran-pikiran
negatif dengan berbagai kelakuan dan keyakinan yang positif .
·
Psikoterapi interpersonal / interpersonal psyvhotherapy (IPT)
Individu dengan sedikit
hubungan sosial berisiko dalam mengembangkan berbagai gangguan suasana perasaan
( Barnett dan Gotlib, 1988). IPT difokuskan pada penanganan masalah dalam
hubungan yang sudah ada dan belajar membangun hubungan interpersonal penting
yang baru. Tugas pertama dari seorang terapis adalah mengidentifikasikan dan
mendefinisikan sebuah persoalan interpersonal. (Gillies, 2001; Weissman, 1995).
Perselisihan antar
pihak memiliki 3 tahap :
-
Tahap negosiasi : dua pihak sadar
adanya selisih paham, dan berusaha bernegosiasi ulang.
-
Tahap jalan buntu : perselisihan menimbulkan kebencian tingkat rendah tanpa ada
usaha untuk mengatasinya.
-
Tahap resolusi : kedua pihak mengambil tindakan tertentu.
d. Kombinasi
Penanganan kombinasi
yaitu penanganan dengan obat dan terapi sekaligus. Keller (2000) menyatakan
bahwa penanganan kombinasi ini lebih efektif untuk penyembuhan total.
Obat-obatan bekerja lebih baik dan lebih cepat , sedangkan terapi memberi
pengobatan jangka panjang pada penderita
untuk mencegah kekambuhan. Kombinasi ini disebut juga maintenance treatment yang bertujuan mencegah kekambuhan.
8.
Bunuh Diri
Bunuh diri
merupakan peyebab kematian dengan tingkat yang sama tinggi AIDS. Secara keseluruhan, bunuh diri ini
paling banyak dilakukan oleh remaja dan juga pada lanjut usia. Remaja adalah
masa yang rentan depresi. Pada lanjut usia, bunuh diri banyak terjadi umumnya
karena tingginya insiden sakit medis dan semakin berkurangnya dukungan sosial
(Conwel dkk, 2002).
Terlepas dari
umur, laki-laki melakukan bunuh diri empat sampai lima kali lebih banyak
melakukan bunuh diri daripada perempuan (American Psychiatric Association
,2003). Uniknya , di China, lebih banyak perempuan yang bunuh diri. Hal ini
karena di china, terutama kalangan perempuan, bunuh diri adalah solusi yang
masuk akal untuk berbagai solusi.
Meskipun laki-laki lebih banyak melakukan bunuh diri, namun perempuan berusaha bunuh diri tiga kali lebih
sering daripada pria (Berman dan Jobes, 1991).
Ada 3 indeks
perilaku bunuh diri yang paling penting :
·
Completed
suicide : tindakan bunuh diri hingga tewas.
·
Suicidal
attemps : usaha
bunuh diri namun tidak tewas.
·
Suicidal
ideations : pikiran serius untuk bunuh diri .
Yang
paling berbahaya adalah pikiran bunuh diri dimana percobaan bunuh diri
datangnya dari pikiran bunuh diri. Laki-laki dalam usaha bunuh diri cenderung
mengunakan cara-cara kekerasan.
Ada
beberapa penyebab terjadinya bunuh diri:
a. Konsepsi
zaman dulu
Sosiolog Emile
Durkheim (1951) mengategorikan bunuh diri menjadi beberapa tipe :
·
Altruistic
suicide : bunuh diri yang diformalkan
·
Egoistic
suicide : bunuh diri akibat kurangnya dukungan social
·
Anomic
suicide : bunuh diri akibat disrupsi nyata yang menyebabkan
hilang arah dan kebingungan
·
Fatalistic
suicide : bunuh diri akibat hilangnya control atas nasib
sendiri.
Korban
bunuh diri secara tidak sadar “menghukum” secara psikologis orang yang mungkin
telah menyakitinya secara pribadi.
b. Faktor
sosial, psikologis dan biologis
Shneidman dan
kawan-kawan menggunakan metode autopsi psikologis untuk mencari
penyebab-penyebab bunuh diri yang memungkinkan. Autopsi psikologis adalah konstruksi ulang profil psikologis pasca
kematian bunuuh diri dengan cara wawancara dengan orang yang sangat dekat
dengan korban.
Brent dan
kawan-kawan (2003) menyatakan bahwa risiko percobaan bunuh diri 6 kali lipat
lebih tinggi jika salah satu anggota keluarga pernah bunuh diri. Jika korban
merupakan saudara kandung, maka risikonya adalah 10 kali. Ini menunjukkan
adanya kontribusi biologis.
Bunuh diri
sering berhubungan dengan gangguan suasana perasaan dimana penderita depresi
cenderung berpikiran untuk bunuh diri. Di kalangan remaja, perilaku bunuh diri
merupakan pengekspresian depresi berat. Kejadian hidup yang stressful juga merupakan faktor penting
penyebab bunuh diri. Contohnya kejadian-kejadian memalukan, kegagalan,
penganiayaan fisik dan seksual, dan bencana alam.
Korban bunuh
diri, umumnya meniru metode bunuh diri yang baru saja dilihatnya. Hal ini
umumnya terjadi pada remaja (Gould ,1990).
Penanganan pada
orang-orang yang berpikiran bunuh diri harus dengan konsultasi pada ahlinya.
Para professional kesehatan mental pada dasarnya memiliki kemampuan untuk
mengukur ada tidaknya pikiran bunuh diri pada pasien. Professional kesehatan
mental disarankan untuk bertanya pada pasien tentang ada tidaknya pikiran bunuh
diri. Bila diketahui adanya rencana bunuh diri, maka sudah berisiko tinggi.
Jika si pasien telah melibatkan menyelesaikan seluruh urusan pribadi mereka,
maka risiko semakin besar.
Penanganan untuk
orang berisiko terdiri dari problem sloving, mengembangkan kompetensi sosial,
mengatasi masalah kehidupan secara adaptif, dan lain-lain.
C.
Skizofrenia
1. Sejarah Konsep Skizofrenia
Konsep skizofrenia
pertama kali diformalasikan oleh dua psikiater Eropa, Emil Kraepelin dan Eugen
Bleuer. Kraepelin pertama kali mengemukakan teorinya mengenai dementia praecox, istilah awal untuk
skizofrenia, pada tahun 1898. Dia membedakan dua kelompok utama psikosis yang
disebutnya endogenik, atau disebabkan secara internal: penyakit manik-depresif dan dementia praecox. Dementia praecox mencakup beberapa konsep
diagnotis-demensia paranoid, katatonia, dan hebefrenia yang dianggap sebagai
entitas tersendiri oleh para ahli klinis pada beberapa dekade terdahulu.
Meskipun berbagai gangguan tersebut secara simtomatik berbeda, kraepelin yakin
mereka memiliki kesamaan inti dan istilah dementia praecox mencerminkan apa
yang diyakininya merupakan inti tersebut, yaitu terjadi pada usia awal
(praecox) dan perjalanan yang memburuk yang ditandai oleh deteriosasi
intelektual progresif dan perjalanan yang memburuk yang ditandai oleh deteriorasi
intelektual progresif (demensia). Dimana demensia yang ini menurut istilah
kraepelin merujuk pada “kelemahan mental” pada umumnya.
Eugun Bleuler
mencerminkan upaya spesifik untuk mendefinisikan inti gangguan dan mengubah
titik berat kraepelin pada usia terjadinya gangguan dan pada perjalanan
penyakit dalam definisinya. Pendapat bleuler berbeda dengan kraepelin terkait
dua poin utamanya, ia yakin bahwa gangguan tersebut tidak selalu terjadi pada
usia dini, dan ia yakin bahwa gangguan tersebut tidak akan berkembang menjadi
demensia tanpa dapat dihindari. Dengan demikian, sebutan dementia praecox tidak
sesuai lagi, dan pada tahun 1908 Bleuler mengajukan istilahnya sendiri
“skizofrenia”.
2. Defenisi Skizofrenia
Skizofrenia berasal
dari bahasa Yunani schizein, yang
artinya “membelah”, dan phren, yang
artinya “akal pikiran”. Skizofrenia adalah gangguan yang ditandai dengan
gangguan utama dalam pikiran, emosi, dan perilaku pikiran yang terganggu ,
dimana berbagai pemikiran tidak saling berhubungan secara logis, dan persepsi dan perhatian yang keliru.
Pasien skizofrenia menarik diri dari orang lain dan kenyataan, sering kali
masuk kedalam kehidupan fantasi yang penuh delusi dan halusinasi.
Skizofrenia terjadi
dengan frekuensi yang sangat mirip diseluruh dunia. Skizofrenia terjadi pada
pria dan wanita dengan frekuensi yang sama. Meskipun kadang berawal pada masa
kanak-kanak, gangguan ini biasanya muncul pada akhir masa remaja atau awal pada
masa dewasa, agak lebih awal pada kaum
laki-laki dari pada kaum perempuan. Orang-orang yang menderita skizofrenia
umumnya mengalami beberapa episode yang tidak terlalu parah, namun tetap
mengganggu keberfungsian mereka. Para pasien skizofrenia dapat berbeda antara
satu dengan yang lainnya dibandingkan pasien gangguan lain.
3. Ciri-ciri skizofrenia
a. Gangguan
Delusi
Gangguan delusi adalah gejala
gangguan psikotik penderita skizofrenia
yang ditandai gangguan pikiran, keyakinan kuat yang sebenarnya dari
keyakinannya.
Ciri – ciri klinis dari gangguan
delusi yaitu :
·
Keyakinan yang persisten dan berlawanan dengan
kenyataan tetapi tidak disertai dengan keberadaan sebenarnya.
·
Terisolasi secara sosial dan bersikap curiga pada
orang lain.
Bentuk –
bentuk delusi yang berkaitan dengan skizofrenia yaitu :
·
Delusions of
persecution adalah pasien skizofrenia yang mengalami gangguan
psikotik ditandai adanya waham prasangka buruk terhadap dirinya atau pun orang
lain yang tidak realitas. Merasa orang lain sangat dengki dengan dirinya.
·
Cotard’s
syndrome (somatic) adalah penderita skizofrenia yang mengalami gangguan psikotik
atau ketakuatan yang tidak real. Penderita memiliki waham bahwa kondisi
fisiknya sakit atau di bagian – bagian tubuh tertentu rusak. Perasaan bagian
tubuh yang terganggu atau sakit secara medis tidak ditemukan.
·
Cogras syndrome yaitu
penderita skizofrenia yang mengalami gangguan psikotik ditandai adanya waham
pengganti yang tidak real terhadap dirinya. Merasa curiga bahwa selain dirinya
ada yang sangat sama dengan dirinya.
·
Erotomatic adalah
keyakinan penderita skizofrenia mencari membututi orang – orang yang dicintainya. Penderita merasa dirinya
dicintai.
·
Jealous yaitu
keyakinan penderita skizofrenia bahwa pasangan seksualnya melakukan selingkuh
atau tidak setia pada dirinya.
b.
Halusinasi
Halusinasi adalah gejala gangguan psikotik penderita
skizofrenia yang ditandai gangguan persepsi pada berbagai hal yang dianggap
dapat dilihat, didengar ataupun adanya perasaan dihina meskipun sebenarnya
tidak realitas.
Adapun ciri – ciri klinis dari
penderita halusinasi yaitu:
·
Tidak memiliki insight
yang jelas dan kesalahan dalam persepsi.
·
Adanya associative
spilitting dan cognitive splitting.
Bentuk – bentuk halusinasi yang
berkaitan dengan penderita skizofrenia yaitu:
·
Halusinasi pendengaran (audiotory hallucination) adalah penderita skizofrenia yang
mengalami gangguan psikotik melalui adanya pendengaran terhadap objek suara–suara
tertentu. Keadaan ini sering terjadi ketika penderita skizofrenia tidak
melakukan aktivitas.
·
Halusinasi pada bagian otak (brain imaging) yaitu gangguan daerah otak terutama bagian broca’s
area adalah daerah pada bagian otak yang selalu memberikan halusinasi pada
penderita skizofrenia.
c.
Disorganisai
Disorganisasi dalah gangguan psikotik dari penderita skizofrenia
yang ditandai dengan ketidak mampuan dalam mengatur arah bicara, reaksi
emosional dan perilaku motoriknya.
Bentuk –
bentuk dari gangguan pikiran disorganisasi yaitu:
·
Tangentialty adalah
ketidakmampuan dari penderita skizofrenia untuk mengikuti arah pembicaraan.
Pembicaraan penderita ini selalu menyimpang jauh dari setiap arah
pembicaraannya.
·
Loose
association adalah penderita skizofrenia yang mengalami gangguan
dalam topik pembicaraaan. Topik dan arah pembicaraan penderita skizofrenia ini sama sekali tidak
berkaitan dengan apa yang dibicarakan.
·
Derailment adalah pola
pembicaraan penderita skizofrenia sama sekali keluar dari alur pembicaraan.
d.
Pendataran Afek
Pendataran afek adalah gejala
gangguan psikotik dari penderita skizofrenia yang ditandai dengan ketidak
mampuannya dalam mengatur antara reaksi emosional dan pola perilaku atau
afektif yang tidak sesuai dengan perilaku. Misalnya, reaksi emosi yang tidak
sesuai dengan cara menimbun barang yang tidak lazim.
Adapun ciri–ciri
klinis pendataran afek yaitu:
·
Tidak adanya reaksi emosional dalam komunikasi.
·
Selalu menatap kosong dalam pandangannya.
·
Berbicara datar tanpa ada nada pembicaraan.
e.
Alogia
Alogia adalah gejala gangguan psikotik dari penderita skizofrenia yang ditandai
dengan adanya disefisiensi dalam jumlah atau isi pembicaraan.
Adapun ciri
– ciri klinis dari penderita alogia
yaitu:
·
Jawaban yang diberikan penderia singkat atau pendek.
·
Cenderung kurang tertarik untuk berbicara.
·
Lebih banyak berdiam diri.
·
Adanya gangguan pikiran negatif dan berkomunikasi.
·
Kesulitan dalam memformulasikan kata.
·
Kalimat (kata – kata) selalu tidak sesuai dengan
formulasi pikiran.
f.
Avolisi
Avolisi yaitu gejala
gangguan psikotik dari penderita skizofrenia yang ditandai ketidakmampuan
memulai ataupun mempertahankan kegiatan – kegiatan penting.
Ciri–ciri
klinis gangguan avolisi yaitu:
·
Tidak menunjukkan minat pada aktivitas atau fungsi
kehidupannya sehari–hari dan tidak berminat merawat kesehatan tubuhnya.
·
Cenderung menjadi pemalas dan kotor.
g.
Anhedonia
Anhedonia yaitu gejala gangguan psikotik dari penderita
skizofrenia yang ditandai dengan ketidakadaan perasaan senang, sikap tidak
peduli terhadap kegiatan sehari – hari, cendrung tidak suka makan dan ketidak
pedulian terhadap hubungan interaksi sosial.
4. Faktor-faktor Penyebab Skizofrenia
Meskipun
penyebab spesifik skizofrenia tidak diketahui, kekacauan ini jelas mempunyai
dasar biologi. Namun dari sisi psikologis pun mempengaruhi terjadinya penyakit
ini pada diri seseorang. Berikut ini faktor-faktor penyebab seseorang mengidap
skizofrenia :
Perkiraan heritability dari skizofrenia cenderung bervariasi karena kesulitan
memisahkan pengaruh genetika dan lingkungan hidup. Walaupun telah diusulkan studi kembar heritability tingkat tinggi. Kemungkinan bahwa
skizofrenia merupakan kondisi kompleks warisan, dengan beberapa gen mungkin
berinteraksi untuk menghasilkan resiko skizofrenia terpisah atau komponen yang
dapat terjadi mengarah diagnosa. Gen ini akan muncul untuk nonspesifik dimana
mereka dapat menimbulkan resiko gila lainnya. Seperti kekacauan gangguan
bipolar. Duplikasi dari urutan DNA dalam gen (dikenal sebagai menyalin nomor
varian) memungkinkan terjadi peningkatan resiko skizofrenia.
Sekelompok peneliti internasional mengidentifikasi tiga variasi baik dari DNA yang diperkirakan meningkatkan penyakit skizofrenia, serta beberapa gen lain yang mempunyai kaitan kuat dengan penyakit ini. David St. Clair seorang psikiater di University of Aberdeen di Scotlandia mengatakan, penemuan ini seperti awal dari jaman baru. Begitu peneliti memahami mekanisme kerja dari proses mutasi, maka obat dan pendekatan baru dapat dikembangkan.
Dalam penelitian, peneliti menganalisa gen dari 6.000 – 10.000 orang dari seluruh dunia yang separuhnya menderita skizofrenia. Mereka menemukan satu mutasi pada kromosom 1, dua pada kromosom 15 dan menetapkan suatu jenis gen yang terkait dengan kondisi skizofrenia pada kromosom 22. Perubahan ini dapat meningkatkan resiko berkembangnya skizofrenia hingga 15 kali lipat.
Varian-varian gen yang ditemukan amat berperan dibandingkan mutasi luar biasa lainnya. Mutasi ini terjadi pada sekitar 1 dari 10.000 orang dibanding 1 dari 10 juta. Peneliti tengah mencari apakah faktor lingkungan ikut berperan dalam mutasi ini. Langkah selanjutnya yang akan dilakukan peneliti adalah menentukan bagaimana penghapusan gen ini mempengaruhi fungsi otak.
b.
Usia
Skizofrenia umumnya terjadi pada akhir masa remaja dan awal masa dewasa. Menurut data yang ditunjukkan pusat data skizofrenia AS, tiga perempat penderita skizofrenia berusia 16 – 25 tahun. Pada kelompok usia 16 – 25 tahun, skizofrenia mempengaruhi lebih banyak laki-laki dibanding perempuan, sedangkan pada kelompok usia 26 – 32 tahun penyakit ini lebih banyak menyerang perempuan. Semakin muda saat ditemukan semakin buruk.
Skizofrenia umumnya terjadi pada akhir masa remaja dan awal masa dewasa. Menurut data yang ditunjukkan pusat data skizofrenia AS, tiga perempat penderita skizofrenia berusia 16 – 25 tahun. Pada kelompok usia 16 – 25 tahun, skizofrenia mempengaruhi lebih banyak laki-laki dibanding perempuan, sedangkan pada kelompok usia 26 – 32 tahun penyakit ini lebih banyak menyerang perempuan. Semakin muda saat ditemukan semakin buruk.
c.
Sosial
Tinggal di perkotaan secara konsisten telah menjadikan faktor resiko mengidap skizofrenia. Keadaan sosial merugikan menjadi faktor resiko, termasuk kemiskinan dan migrasi terkait dengan kesulitan bersosialisasi, diskriminasi ras, pengaruh keluarga atau kondisi rumah miskin. Pengalaman yang menjadi trauma juga salah satu faktor resiko diagnosa skizofrenia dalam kehidupan.
Tinggal di perkotaan secara konsisten telah menjadikan faktor resiko mengidap skizofrenia. Keadaan sosial merugikan menjadi faktor resiko, termasuk kemiskinan dan migrasi terkait dengan kesulitan bersosialisasi, diskriminasi ras, pengaruh keluarga atau kondisi rumah miskin. Pengalaman yang menjadi trauma juga salah satu faktor resiko diagnosa skizofrenia dalam kehidupan.
d.
Obat
Sekitar setengah dari semua pasien skizofrenia akibat penggunaan narkoba atau alkohol, yang jelas hubungan antara penggunaan narkoba dan skizofrenia sulit untuk dibuktikan. Dengan adanya bukti kuat berdasarkan beberapa studi menunjukkan bahwa cannabis sativa berperan dalam perkembangan skizofrenia. Namun, tak ada bukti cukup untuk alkohol atau narkoba lain. Di sisi lain, penderita skizofrenia diketahui menggunakan obat untuk mengatasi depresi, gelisah dan kesendirian akibat dari kekacauan mereka.
Sekitar setengah dari semua pasien skizofrenia akibat penggunaan narkoba atau alkohol, yang jelas hubungan antara penggunaan narkoba dan skizofrenia sulit untuk dibuktikan. Dengan adanya bukti kuat berdasarkan beberapa studi menunjukkan bahwa cannabis sativa berperan dalam perkembangan skizofrenia. Namun, tak ada bukti cukup untuk alkohol atau narkoba lain. Di sisi lain, penderita skizofrenia diketahui menggunakan obat untuk mengatasi depresi, gelisah dan kesendirian akibat dari kekacauan mereka.
e.
Psikologis
Sejumlah
mekanisme psikologis telah mempengaruhi orang menderita skizofrenia. Ketika
dibawah tekanan atau situasi membingungkan, termasuk perhatian yang berlebihan
dapat memunculkan penyakit ini. Banyak individu penderita skizofrenia emosinya
sangat responsif, itu dapat menyebabkan kerentanan terhadap gejala kekacauan.
5. Terapi
skizofrenia
Dalam
skizofrenia terdapat berbagai macam terapi. Dimana suatu terapi dilakukan
tergantung pada tahap penyakit pasien. Berikut cara-cara penanganan
skizofrenia.
a.
Penanganan Biologis (Terapi Obat)
Perkembangan
terpenting dalam terapi untuk
skizofrenia adalah
penemuan obat-obatan pada tahun 1950-an yang secara kolektif disebut
obat-obatan antipsikotik, yang juga disebut neuroleptik karena menimbulkan
efektif samping yang sama dengan simtom-simtom penyakit neurologis.
Obat-obatan Antipsikotik Tradisional.Salah satu obat
antipsikotik yang paling sering diresepkan, fenothiazin diciptakan pertama kali
oleh ahli kimia berkebangsaan Prancis Laborit memelopori penggunaan antihistamin
untuk mengurangi syok karena pembedahaan. Ia mengamati bahwa obat ini membuat
pasien agak mengantuk dan ketakutannya menghadapi operasi berkurang. Setelah itu seorang ahli kimia Perancis, Charpentier menyiapkan suatu
derivat baru fenothiazin, yang disebutnya khlorpromazin. Obat ini terbukti
sangat efektif untuk menenangkan pasien
skizofrenia.
b.
Penanganan Psikologis
Gejala-gejala
gangguan schizophrenia yang kronik telah membuat situasi pengobatan di dalam
maupun di luar Rumah Sakit Jiwa (RSJ) menjadi monoton dan menjemukan. Para
psikiater dan petugas kesehatan terkondisi untuk menangani schizophrenia dengan
obat saja. Psikoterapi suportif, terapi kelompok, maupun terapi perilaku hampir
tidak pernah dilakukan, karena dianggap tidak akan banyak manfaatnya. Wawancara
tatap muka yang rutin dengan pasien jarang dilakukan.
Psikoterapi
adalah perawatan dan penyembuhan gangguan jiwa dengan cara psikologis. beberapa
pakar psikoterapi beranggapan bahwa perubahan perilaku tergantung pada
pemahaman individu atas motif dan konflik yang tidak disadari.
·
Terapi
Psikoanalisa
Terapi
Psikoanalisa adalah metode terapi berdasarkan konsep Freud. Tujuan
psikoanalisis adalah menyadarkan individu akan konflik yang tidak disadarinya
dan mekanisme pertahanan yang digunakannya untuk mengendalikan kecemasannya .
Hal yang paling penting pada terapi ini adalah untuk mengatasi hal-hal yang
direpress oleh penderita. Metode terapi ini dilakukan pada saat penderita
schizophrenia sedang tidak "kambuh". Macam terapi psikoanalisa yang
dapat dilakukan, adalah Asosiasi Bebas. Pada teknik terapi ini, penderita
didorong untuk membebaskan pikiran dan perasaan dan mengucapkan apa saja yang
ada dalam pikirannya tanpa penyuntingan atau penyensoran.
Pada
teknik ini, penderita disupport untuk bisa berada dalam kondisi relaks baik
fisik maupun mental dengan cara tidur di sofa. Ketika penderita dinyatakan
sudah berada dalam keadaan relaks, maka pasien harus mengungkapkan hal yang
dipikirkan pada saat itu secara verbal. Pada saat penderita tidur di sofa dan
disuruh menyebutkan segala macam pikiran dan perasaan yang ada di benaknya dan
penderita mengalami blocking, maka hal itu merupakan manifestasi dari keadaan
over-repressi. Menurut Freud, apabila terjadi blocking dalam proses asosiasi
bebas, maka penderita akan melakukan analisa. Hasil dari analisanya dapat
menimbulkan insight pada penderita. Analisa pada waktu terjadi blocking
bertujuan agar penderita mampu menempatkan konfliknya lebih proporsional,
sehingga penderita mengalami suatu proses penurunan ketegangan dan penderita
lebih toleran terhadap konflik yang dialaminya.
·
Terapi Perilaku
-
Social Learning Program
Social
learning program menolong penderita schizophrenia untuk
mempelajari perilaku-perilaku yang sesuai. Program ini menggunakan token
economy, yakni suatu cara untuk menguatkan perilaku dengan memberikan tanda
tertentu (token) bila penderita berhasil melakukan suatu perilaku tertentu.
Tanda tersebut dapat ditukar dengan hadiah (reward), seperti makanan atau
hak-hak tertentu. Program lainnya adalah millieu program atau therapeutic
community. Dalam program ini, penderita dibagi dalam kelompok-kelompok kecil
yang mempunyai tanggung jawab untuk tugas-tugas tertentu. Mereka dianjurkan
meluangkan waktu untuk bersama-sama dan saling membantu dalam penyesuaian
perilaku serta membicarakan masalah-masalah bersama dengan pendamping. Terapi
ini berusaha memasukkan penderita schizophrenia dalam proses perkembangan untuk
mempersiapkan mereka dalam peran sosial yang bertanggung jawab dengan
melibatkan seluruh penderitan dan staf pembimbing.
-
Social skills training
Terapi
ini melatih penderita mengenai keterampilan atau keahlian sosial, seperti kemampuan
percakapan, yang dapat membantu dalam beradaptasi dengan masyarakat (Rathus, et
al., 1991; Davisoan, et al., 1994; Sue, et al., 1986). Social Skills Training
menggunakan latihan bermain sandiwara. Para penderita diberi tugas untuk
bermain peran dalam situasi-situasi tertentu agar mereka dapat menerapkannya
dalam situasi yang sebenarnya. Bentuk terapi seperti ini sering digunakan dalam
panti-panti rehabilitasi psikososial untuk membantu penderita agar bisa kembali
berperan dalam masyarakat. Mereka dibantu dan didukung untuk melaksanakan
tugas-tugas harian seperti memasak, berbelanja, ataupun untuk berkomunikasi,
bersahabat, dan sebagainya. Meskipun terapi ini cukup berhasil, namun tetap ada
persoalan bagaimana mempertahankan perilaku bila suatu program telah selesai,
dan bagaimana dengan situasi-situasi yang tidak diajarkan secara langsung.
·
Terapi Humanistik
-
Terapi
kelompok
Pada
terapi ini, beberapa klien berkumpul dan saling berkomunikasi dan terapist
berperan sebagai fasilitator dan sebagai pemberi arah di dalamnya. Di antara
peserta terapi tersebut saling memberikan feedback
tentang pikiran dan perasaan yang dialami oleh mereka. Klien dihadapkan pada
setting sosial yang mengajaknya untuk berkomunikasi, sehingga terapi ini dapat
memperkaya pengalaman mereka dalam kemampuan berkomunikasi. Di rumah sakit
jiwa, terapi ini sering dilakukan. Melalui terapi kelompok ini iklim interpersonal
relationship yang konkrit akan tercipta, sehingga klien selalu diajak untuk
berpikir secara realistis dan menilai pikiran dan perasaannya yang tidak
realistis.
-
Terapi
Keluarga
Terapi
keluarga ini merupakan suatu bentuk khusus dari terapi kelompok. Kelompoknya
terdiri atas suami istri atau orang tua serta anaknya yang bertemu dengan satu
atau dua terapist. Terapi ini digunakan untuk penderita yang telah keluar dari
rumah sakit jiwa dan tinggal bersama keluarganya. Ungkapan-ungkapan emosi dalam
keluarga yang bisa mengakibatkan penyakit penderita kambuh kembali diusahakan
kembali. Keluarga diberi informasi tentang cara-cara untuk mengekspresikan
perasaan-perasaan, baik yang positif maupun yang negatif secara konstruktif dan
jelas, dan untuk memecahkan setiap persoalan secara bersama-sama. Keluarga
diberi pengetahuan tentang keadaan penderita dan cara-cara untuk menghadapinya.
Keluarga juga diberi penjelasan tentang cara untuk mendampingi, mengajari, dan
melatih penderita dengan sikap penuh penghargaan. Perlakuan-perlakuan dan
pengungkapan emosi anggota keluarga diatur dan disusun sedemikian rupa serta
dievaluasi.
6.
Contoh Kasus
Mendadak segala sesuatu tidak berjalan sebagaimana
mestinya. Saya mulai kehilangan kendali atas hidup saya dan terutama diri saya.
Saya tidak bisa konsentrasi pada tugas-tugas kuliah, tidak bisa tidur, dan
ketika tidur, saya bermimpi tantang kematian. Saya takut masuk ruang kuliah ,
membayangkan bahwa orang-orang membicarakan saya, dan diatas semua itu saya
mendengarkan suara-suara. Saya menelepon ibu di pittsburgh dan meminta saran.
Ia menyuruh saya pindah dari kampus dan tinggal bersama kakak saya d apartemen.
Setelah tinggal bersama kakak saya, keadaan semakin
buruk. Saya takut pergi keluar rumah dan bila saya melihat keluar jendela,
semua orang diluar seolah-olah berteriak, “Bunuh dia, bunuh dia”. Kakak saya
memaksa saya untuk pergi kekampus. Saya pergi keluar rumah sampai saya tahu ia telah berangkat ketempat
kerjanya, setelah itu saya kembali kerumah. Keadaan terus memburuk. Saya
membayangkan bau badan saya tidak enak dan kadang mandi hingga 6 kali sehari. Suatu hari saya
pergi ketoko grosir dan dan saya membayangkan orang-orang ditoko tersebut
berkata , “carilah penyelamatan”. Keadaan semakin memburuk, saya tidak bisa
mengingat apapun. Saya mempunyai buku catatan yang berisi segala sesuatu yang
harus saya lakukan pada satu hari tertentu. Saya tidak bisa mengingat
tugas-tugas kuliah, dan saya belajar dari jam 6 sore hingga jam 4 pagi, namun
tidak berani berangkat kekampus esok harinya. Saya mencoba menceritakan kepada
kakak saya apa yang saya alami, namun ia tidak mengerti. Ia menyarankan saya
menemui psikiater, namun saya takut keluar rumah untuk menemui psikiater.
Suatu hari saya memutuskan bahwa saya tidak sanggup
menanggung trauma ini lebih lama, maka saya meminum 35 butir pil Darvon. Pada
saat yang sama, sebuah suara didalam diri saya berkata, “untuk apa kamu
melakukannya? Sekarang kamu tidak akan masuk surga”. Detik itu juga saya sadar
bahwa saya tidak sungguh-sungguh ingin mati. Saya ingin hidup, tetapi saya
takut. Saya mengambil telepon dan menelpon psikiater yang direkomendasikan oleh
kakak saya. Saya katakan bahwa saya telah meminum pil Darvon dalam dosis yang
berlebihan dan saya takut. Ia menyuruh saya naik taksi dan pergi kerumah sakit.
Ketika saya tiba dirumah skit, saya mulai muntah, tetapi saya tidak pingsan.
Karena satu dan lain hal, saya tidak bisa menerima kenyataannya bahwa saya
benar-benar akan menemui seorang psikiater. Saya menganggap diri saya gila.
Akibatnya, saya tidak langsung menemui psikiater. Sebaliknya saya meninggalkan
rumah sakit dan akhirnya bertemu dengan kakak saya dalam perjalan pulang
kerumah. Ia menyuruh saya kembali saat itu juga karena saya jelas harus menemui
psikiater. Kami kemudian menelpon ibu dan ibu mengatakan ia akan datang esok
hari.
D.
Gangguan
Kepribadian (Personality Disoders)
Kepribadian merupakan
gabungan antara emosi dan perilaku individu yang menjadikan individu tersebut
memiliki karakteristik tertentu dalam menghadapi kehidupan sehari-hari. Individu
dikatakan mengalami gangguan kepribadian ketika ciri kepribadian individu
memperlihatkan pola perilaku yang tidak fleksibel dan maladaptif. Ciri-ciri ini
terjadi dalam jangka waktu yang lama dan signifikan.Dan biasanya sudah mulai terlihat
sejak individu berusia kanak-kanak.
Jika dibandingkan
dengan individu yang mengalami gangguan kecemasan, individu yang mengalami
gangguan kepribadian lebih tidak menyadari gangguan yang terjadi pada
kepribadiannya.Sehingga individu ini menolak untuk diberi terapi untuk sembuh,
karena individu yang mengalami gangguan kepribadian merasa bahwa kepribadiannya
tidak bermasalah.
Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disoders (DSM-IV) gangguan kepribadian dikelompokan menjadi 3, yaitu:
1.
Kluster
A (Kluster Ganjil)
Individu dalam kluster
ganjil ini, memiliki pola perilaku yang sama, yaitu eksentrik dan aneh. Kluster
A terdiri dari gangguan kepribadian paranoid, gangguan kepribadian skizoid, dan
gangguan kepribadian skizotipal.
a.
Gangguan Kepribadian Paranoid
Individu yang mengalami
gangguan kepribadian paranoid memperlihatkan adanya rasa ketidakpercayaan dan
kecurigaan yang berlebihan pada orang-orang di sekitarnya.Individu dengan
gangguan ini menampakkan sikap bermusuhan dengan orang-orang di sekitarnya,
karena terlalu mencurigai orang-orang yang berada di sekitarnya dengan tidak
beralasan yang jelas. Bahkan sering sekali mereka menganggap peristiwa yang
sama sekali tidak berhubungan dengan dirinya merupakan serangan dari
orang-orang di sekitarnya kepada dirinya. Jadwal penerbangan yang tertunda
misalnya, individu dengan gangguan ini akan menganggap bahwa peristiwa ini
merupakan upayah yang disengaja oleh orang-orang di sekitarnya untuk
mengganggunya. Gangguan ini biasanya mulai muncul pada usia dewasa awal.
Berikut ini merupakan
rangkuman kriteria gangguan kepribadian paranoid berdasarkan DSM-IV-TR.
·
Ketidakpercayaan dan kecurigaan yang
pervasif (meluas/merembet) terhadap orang lain.
·
Curiga bahwa orang lain sedang
mengeksploitasi, mencelakai, atau menipunya.
·
Preokupasi (terfokus pada satu hal
dengan pikirannya sendiri/berfantasi sendiri) dengan keragu-raguan yang tidak
beralasan terhadap loyalitas teman-teman sejawatnya.
·
Kecendrungan untuk membaca adanya maksud
merendahkan atau mengancam yang tersembunyi dibalik ucapan orang lain.
·
Menyimpan dendam atas penghinaan,
cedera, atau kebohongan yang pernah diterimanya.
·
Mempersepsi adanya serangan terhadap
dirinya dan reputasinya bagi orang lain sama sekali tidak ada.
·
Kecurigaan tanpa alasan yang berulang
kali muncul.
Contoh kasus paranoid:
Seorang
pensiunan pengusaha berusia 85 tahun diwawancarai seorang pekerja sosial untul
menetukan kebutuhan perawatan kesehatan bagi dirinya dan istrinya yang sakit
dan lemah.Pria ini tidak memiliki sejarah penanganan gangguan mental.Ia
terlihat sehat dan waspada secara mental. Ia dan istrinya telah menikah selama
60 tahun, dan tampak bahwa istrinya merupakan satu-satunya orang yang
benar-benar ia percaya. Dia selalu curiga pada orang lain. Ia tidak akan
mengungkapkan informasi pribadi pada siapapun kecuali pada istrinya, yakin
bahwa orang lain akan mengambil keuntungan darinya. Ia menolak tawaran bantuan
dari kenalannya karena ia curiga dengan mereka. Saat menerima telepon ia akan
menolak menyebutkan namanya sampai ia tahu maksud si penelepon. Ia selalu
melibatkan dirinya dalam “pekerjaan yang berguna” untuk mengisi waktunya,
bahkan selama 20tahun masa pensiunnya. Ia meluangkan waktu yang cukup banyak
untuk memonitor investasinya dan pernah bertengkar dengan pialangnya saat
terjadi kesalahan dalam rekening bulanannya, yang membuatnya curiga bahwa
pialangnya tersebut berusaha menutupi transaksi yang curang. (Diadaptasi dari
Spitzer dkk,1994, hal. 211-213).
b.
Gangguan Kepribadian Skizoid
Individu dengan
gangguan kepribadian skizoid memperlihatkan adanya pola perilaku menarik diri
dari hubungan social. Individu ini cenderung introvert, akibatnya mereka
terlihat sangat dingin. Mereka tidak terpengaruh dengan kritik atau pujian dan
mereka tidak menyukai kedekatan dengan orang lain. Walaupun indivdu ini
cendrung introvert dan memiliki fantasi atau impian-impian sendiri, tapi mereka
tetap mampu untuk membedakan antara realitas dan fantasi. Bahkan ada kalanya
individu dengan gangguan ini sangat kreatif dan ide-ide yang terbentuk merupakan
ide yang logis. Gangguan ini biasanya muncul pada masa kanak-kanak awal,
berlangsung dalam jangka waktu lama, tapi belum tentu seumur hidup.
Berikut merupakan
kriteria gangguan kepribadian skizoid berdasarkan DSM-IV-TR:
·
Pola pelepasan diri dari hubungan social
dan ragam ekspresi emosi yang terbatas, yang dimulai pada masa dewasa awal.
·
Kurangnya keinginan untuk menikmati
hubungan dekat termasuk hubungan keluarga.
·
Hampir selalu memilih
aktifitas-aktifitas soliter (yang dilakukan sendiri).
·
Kalaupun ada minat untuk mendapatkan
pengalaman seksual dengan orang lain, minat itu hanya sedikit sekali.
·
Kurang memiliki sahabat atau teman karib
di luar dari keluarga kandungnya.
·
Tampak tidak peduli dengan kritik atau
pujian dari orang lain.
·
Menunjukkan sikap dingin secara
emosional.
Contoh kasus skizoid:
John seorang pensiunan
berusia 50tahun, mencari penanganan selama beberapa minggu setelah anjingnya
tertabrak dan mati.John merasa sedih dan lelah.Ia menjadi sulit berkonssentrasi
dan sulit tidur. Ia tinggal sendiri dan lebih senang sendirian, membatasi
kontak dengan orang lain dan hanya mengatakan “halo” dan “apa kabar?” sambil
terus berlalu. Ia merasa percakapan social hanya membuang-buang waktu dan
merasa canggung bila ada prang lain yang mencoba membina persahabatan
dengannya. Meski ia hobi membaca surat kabar dan tetap mengikuti perkembangan
dari peristiwa terkini, ia tidak memiliki minat yang nyata terhadap manusia. Ia
bekerja sebagai penjaga keamanan dan digambarkan rekan kerjanya sebagai
“penyendiri” dan “ikan yang dingin”. Satu-satunya hubungan yang ia miliki
adalah dengan anjingnya, kerena ia merasa dapat berbagi perasaan yang lebih
sensitif dan lebih hangat daripada ia berbagi dengan orang lain. Saat natal ia
akan bertukar kado dengan anjingnya, membeli hadiah untuk anjingnya dan
membungkus sebotol scoth untuk dirinya sendiri sebagai hadiah dari binatang
tersebut. Satu-satunya peristiwa yang membuatnya sedih adalah saat ia
kehilangan anjingnya. Sebaliknya, kehilangan orang tua nya tidak mampu
membangkitkan suatu respon emosional.Ia merasa dirinya berbeda dari orang lain
dan bingung dengan adanya emosionalitas yang ia lihat pada orang lain.
c.
Gangguan Kepribadian Skizotipal
Individu dengan
gangguan kepribadian skizopital akan memperlihatkan pola perilaku yang ganjil.
Cara mereka berhubungan dengan orang lain, cara berpikir, bahkan cara
berpakaian mereka. Mereka memiliki ide-ide dan keyakinan-keyakinan yang ganjil.
Ada kalanya mereka berfantasi dan berhubungan dengan ketakutan dan fantasi mereka merupakan fantasi yang
biasanya hanya muncul pada masa kanak-kanak.
Berikut merupakan
kriteria skizotipal berdasarkan DSM-IV-TR.
·
Pola pervasif dari defisit (kekurangan)
social dan interpersonal yang ditandai dengan perasaan tidak nyaman akut dengan
hubungan dekat, distorsi kognitif (perseptual), dan perilaku yang eksentrik
yang mulai muncul pada masa dewasa awal.
·
Interpretasi yang tidak tepat bahwa
insiden-insiden kausal dan kejadian-kejadian eksternal memiliki makna tertentu
atau tidak lazim yang spesifik bagi orang tertentu.
·
Keyakinan yang ganjil atau magical thinking yang mempengaruhi
perilakunya dan tidak konsisten dengan norma-norma kultural.
·
Pengalaman perseptual yang tidak lazim.
·
Pemikiran dan pembicaraan yang ganjil
·
Curiga (paranoid)
·
Afek (perubahan perasaan karena
tanggapan dalam kesadaran individu seperti marah, dsb) yang tidak pas atau
terbatas.
·
Kurang memiliki sahabat atau teman karib
di luar dari keluarga kandungnya.
·
Kecemasan sosial eksesif yang lebih
berhubungan dengan ketakutan paranoid daripada dengan penilaian negative
tentang dirinya sendiri.
Contoh kasus
skizotipal:
Jonathan, meklanik mobil berusia
27tahun. Memiliki sedikit teman dan lebih memilih membaca novel fiksi ilmiah
daripada bersosialisasi dengan orang lain. Ia jarang bergabung dan bercakap-cakap
dengan orang lain. Suatu saat, ia tampak seperti hanyut dalam pikirannya
sendiri, dan rekan kerjanya harus bersiul untuk mendapatkan perhatiannya saat
ia sedang mengerjakan sebuah mobil. Ia sering menunjukkan ekspresi ganjil
diwajahnya. Mungkin ciri perilaku yang paling tidak umum adalah ia melaporkan
pengalaman yang dating sewaktu-waktu dan perasaan bahwa almarhum ibunya berdiri
di dekatnya. Ilusi ini menenangkan baginya, dan ia menantikan terjadi peristiwa
itu. Ia menyadari hal itu tidak nyata. Ia tidak pernah mencoba menyentuh roh
tersebut, mengetahui bahwa roh itui akan menghilang begitu ia mendekat.
2.
Kluster
B (Kluster Dramatik)
Individu dalam kluster
ini memiliki pola perilaku yang dramatis (berlebih-lebihan), emosional, dan
aneh.Gangguan kepribadian antisosial, gangguan kepribadian borderline, gangguan
kepribadian histrionik, dan gangguan kepribadian narsistik merupakan jenis
gangguan kepribadian yang terdapat di dalam kluster ini.
a. Gangguan
Kepribadian Antisosial
Gangguan kepribadian antiosial
memperlihatkan individu yang bertingkah laku kriminal, tapi tidak sama dengan
melakukan kriminalitas. Individu ini bertingkah laku kriminal karena
ketidakmampuannya untuk mematuhi norma-norma sosial yang ada. Individu ini
sering memperdaya orang lain seperti berbohong. Individu ini juga sering
melakukan pelanggaran hak-hak orang lain, seperti mencuri, dsb.
Individu dengan
gangguan kepribadian antisosial ini biasanya telah menunjukkan karakteristik
terjadinya gangguan ini pada usia 15 tahun dan puncak ekstrimnya pada usia 18
tahun, namun kecendrungan antisosial ini akan menurun seiring bertambahnya usia
individu.
Berikut merupakan
kriteria gangguan kepribadian antisosial berdasarkan DSM-IV-TR.
·
Berumur paling rendah 18 tahun dan telah
menunjukkan sikap tidak peduli dengan norma-norma sosial dan pelanggaran
hak-hak orang lain sejak usia 15 tahun.
·
Tidak mematuhi norma-norma sosial,
terbukti dengan tindakan-tindakan melanggar hukum yang dilakukannya.
·
Suka memperdaya orang lain, termasuk
berbohong, atau menipu orang lain untuk memperoleh keuntungan dan kesenangan.
·
Impulsivitas (tidak mampu membuat
rencana ke depan)
·
Iribilitas atau agresivitas seperti
ditunjukkan dengan seringnya berkelahi atau melakukan penyerangan.
·
Tidak peduli dengan keselamatan orang
lain.
·
Secara konsisten tidak bertanggung jawab
dalam pekerjaan atau dalam membayar tagihan.
·
Tidak menyesal karena telah menyakiti
orang lain.
Contoh kasus
antisocial:
Seorang laki-laki
berusia 19 tahun dan sedang menjalani rehabilitasi di tempat ketergantungan
obat-obatan yang terlarang untuk yang kesekian kalinya. Berdasarkan
penuturan ibunya, diketahui bahwa sejak SD anaknya sudah sering melawan nasehat
orangtua dan gurunya. Dia pun sering moebolos dari sekolah,walaumpun pretasi
akademiknya memadai guru wali kelasnya sering memanggil orangtua dan
mengeluhkan tenang prilaku sang anak. Sejak kelas 5 SD sudah memulai merokok
dan dilanjutkan menghisap ganja semasa awal SMP, hingga akhirnya kelas 2 SMP
mulai menggunakan putauw hingga sekarang.Penggunaan obat-obatan terlarang ini
kadangkala disertai dengan konsumsi alcohol. Sang anak akhirnya putus sekolah
di kelas 1 SMA dan lebih memilih kegiatan bermain band bersama teman-temannya.
Tidak ada satu orang pun yan behasi mengajaknya kembali ke sekolah.Hingga saat
ini dia masih terus mendapatkan biaya dari kedua orang tuanya.
b. Gangguan
Kepribadian Borderline
Gangguan kepribadian
borderline merupakan gangguan yang terjadi pada individu yang menampakkan mood yang selalu berubah, tingkah
lakunya tidak dapat diduga, memiliki kencendrungan untuk menyiksa atau
menyakiti diri sendiri. Individu ini merasa bergantung pada orang lain, tetapi
juga merasa bermusuhan dengan orang lain yang sama.
Berikut merupakan
kriteria gangguan kepribadian borderline berdasarkan DSM-IV-TR.
·
Pola pervasif dari kelabilan dalam
hubungan antar individu, citra diri, afek, dan impulsitivitas yang mulai muncul
pada masa dewasa awal.
·
Usaha mati-matian untuk menghindari
tindakan pengabaian baik nyata maupun
imajinasi.
·
Pola hubungan antar individu yang labil
dan intens yang ditandai dengan idealisasi ekstrem dan devaluasi ekstrem yang
silih berganti.
·
Citra diri atau perasaan tentang diri
sendiri yang labil.
·
Membahayakan diri sendiri.
·
Perilaku yang mengarah pad bunuh diri
atau mutilasi diri.
·
Perasaan hampa yang kronis.
·
Sulit mengontrol kemarahan.
·
Ide paranoid sementara ketika stres.
Contoh kasus
borderline:
Saya telah mengenal
Claire selama lebih dari 25 tahun dan bersama-sama mengalami masa-masa yang
menyenangkan, namun lebih banyak masa yang buruk ketika hidupnya sangat tidak
menentu.Claire adalah seseorang yang mengalami gangguan borderline. Saya dan
Claire biasanya berangkat bersama-sama sejak SMA, suatu saat saya menemukan
bahwa rambutnya dipotong sangat pendek dan tidak rapi, dan ketika saya
menanyakan penyebabnya, dia menjawab bahwa semuanya berjalan dengan buruk dan
kegiatan memotong rambut itu dapat menyenangkan dirinya.kemudian saya juga
mengetahui bahwa sarung tangan panjang yang sering dikenakan Claire, ternyata
untuk menutupi luka-luka sayatan yang buat Claire pada lengannya. Claire
menjadi teman pertama saya yang meroko dan menggunakan obat-obatan terlarang,
teman pertama saya yang orang tuanya bercerai dan tidak lagi mempedulikan
dirinya.Ayahnya seorang alkoholik yang sering memukuli dirinya dan ibunya.
Claire memiliki prestasi akademik dan self-image yang rendah. ia
seringkali mengatankan dirinya bodoh dan buruk yang saat ini saya ketahui bahwa
kedua hal itu tidak benar.selama saya mengenal dia, secara bekala dia “meninggalkan
kota” tanpa sebab yang jelas. Saya mengetahui beberapa tahun kemudian bawa itu
hanya alasan apabila dia hars dirawat di rumah sakit jiwa karena dia mengalami
depresi dan ingin bunuh diri.Saya memang pernah mendengar Claire mengancam
ingin bunuh diri, namun saat itu saya tidak mengetahui seberapa serius ancaman
tersebut. Pada masa kuliah, Claire semakin tidak mudah tebak. Pada suatu
waktu dia bisa sangat marah pada kami dan mengatakan bahwa kami akn
meninggalkannya dan da kami berjalan cepat agar tidak tampak bersama dirinya.
Di waktu yang lain, dia tampak sangat putus asa dan ingin bersama-sama
dengan kami. Saya terus terang saya bingung dengan tingkah lakunya terhadap
kami teman-temannya.Saat ini, Claire sudah berusia pertengahan 30an, saya
mendenga dia suah menikah 2 kali.Pernikahan yang diawali penuh gairahan, namun
berakhir dngan kekacauan karena Claire pada akhirnya kembali dirawat di rumah
sakit jiwa.Saat ini, dia tidak lagi berhubungan dengan kedua mantan suaminya
dan merasa hidupnya sudah mulai tenang baginya.Claire mengakui bahwa dia jarang
merasa bahagia, namun dia merasa bahwa sudah lebih baik dan mampu bekerja
dengan baik sebagai agen perjalanan. Dia beberapa kali mencoba unt uk
berhubunganlagi dengan kaum pria, namun dia takut untuk menjalin hubungan yang
lebih mendalam karena pengalaman terdahulu dengan para pria.
c.
Gangguan Kepribadian Histrionik
Individu dengan
gangguan ini menampakkan tingkah laku yang cendrung ekstrovert, mudah
terpengaruh dengan lingkungan, bersemangat, dan dramatis.Namun, individu ini
tidak mampu untuk menciptakan hubungan yang mendalam dan menjaga hubungan dalam
jangka waktu yang panjang.
Individu ini berusaha
untuk mencari perhatian dengan lingkungannya.Sehingga individu ini cenderung
berlebihan mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka dan membuat segala
sesuatunya terlihat lebih penting dari kenyataannya.
Individu ini juga
cenderung bergantung pada orang lain dengan menaruh kepercayaan sepenuhnya pada
orang lain tersebut, sehingga individu ini mudah tertipu.
Berikut merupakan
kriteria gangguan kepribadian histrionik berdasarkan DSM-IV-TR.
·
Pola pervasif dari emosionalitas yan
eksesif dan mencari perhatian, yang bermula pada masa dewasa awal dan muncul di
berbagai macam situasi.
·
Merasa tidak nyaman dalam
situasi-situasi di mana individu tidak
menjadi pusat perhatian.
·
Interaksi dengan orang lain sering kali
ditandai dengan perilaku yang menggoda atau provokatif secara seksual, yang
tidak pada tempatnya.
·
Memperlihatkan ekspresi emosi yang
berubah-ubah dengan cepat.
·
Secara konsisten menggunakan penampilan
fisik untuk menarik perhatian.
·
Gaya berbicara yang kurang mengandung
detail.
·
Mudah dipengaruhi oleh orang lain dan
keadaan.
·
Menganggap hubungannya lebih intim
disbanding degan kenyataan.
Contoh kasus histrionik:
Seorang wanita berusia
sekitar 20-an tahun dan telah menikah serta memiliki seorang anak yang masih
bayi. Dia dikeluhkan oleh keluarganya karena seringkali pingsan dan setelah
diperiksa ke dokter ternyata tidak di temuakan gangguan fisik apapun. Ibunya
menuturkan bahwa hingga SMP sang anak masih tidur dengan ayah dan ibunya.
Seluruh keinginannya harus dipenuhi, cenderung ”bandel” namun sangat disayang
oleh ayahnya. Sejak kecil, sang anak memang sering kali terjatuh secara
tiba-tiba, namun setelah menikah gejalanya semakin parah (sang anak menikah
karena telah hamil di luar pernikahan). Berkali-kali sang anak pingsan. Apabila
sedikit tersinggung biasanya akn langsung pingsan dan baru tidak lama kemudian
membaik setelah orang-orang di sekitarnya tampak panik membantu dia.
d.
Gangguan Kepribadian Narsistik
Individu dengan
gangguan kepribadian narsistik memiliki keyakinan bahwa dirinya merupakan orang
yang penting dan special.Sehingga individu ini berharap mendapatkan perlakuan
yang special pula dari lingkungannya. Oleh karena itu, individu ini sangat
tidak bisa menerima kritik dari orang lain yang mengakibatkan mereka memiliki
hubungan yang kurang baik dengan orang lain.
Berikut merupakan
kriteria gangguan kepribadian narsistik berdasarkan DSM-IV-TR.
·
Pola pervasif dari kebutuhan untuk
dipuji yang bermula pada masa dewasa awal.
·
Merasa bahwa dirinya adalah orang
penting.
·
Terpreokupasi dengan fantasi-fantasi
tentang kesuksesan, kecerdasan, kecantikan, atau cinta yang ideal yang tanpa
batas.
·
Memiliki keyakinan bahwa dirinya istimewa,
sehingga harus diperlakukan dan berhubangan dengan orang yang istimewa pula.
·
Minta dipuji secara eksesif.
·
Mengeksploitasi orang lain untuk
mencapai tujuannya.
·
Kurang memiliki empati.
·
Sering iri terhadap orang lain atau
percaya bahwa orang lain iri padanya.
·
Bersikap arogan.
Contoh kasus narsistik:
David berprofesi sebagai pengacara
dan berusia awal 40an. Dia pertama kali datang mengunjungi psikolog untuk
mengatasi mood negatifnya.Sejak awal pertemuan tampak bahwa David sangat
menaruh perhatian pada penampilannya.Dia secara khusus menanyakan pendapat
terapis mengenai baju setelan model terbaru yang dikenakannya dan juga sepetu
barunya.David juga bertanya kepada terapis tentang mobil yang digunakan dan
berapa banyak klien kelas atas yang ditangani oleh terapis tersebut.David
sangat ingin memastikan bahwa dia sedang berhubungan dengan seseorang yang
terbaik bidangnya.David bercerita tentang kesuksesannya dalam bidang akademis
dan olahraga, tanpa mampu memberikan bukti apapun yang memastikan keberhasilannya.
Selama bersekolah di sekolah hukum, dia adalah seorang work- aholic, penuh akan
fantasi akan keberhasilannya hingga tidak memiliki waktu untuk isterintya.
Setelah anak mereka lahir, David semakin sedikit menghabiskan waktu dengan
keluarganya. Tidak lama setelah dia memliki pekerjaan yang mapan, David
menceraikan isterinya karena tidak lagi membutuhkan bantuan ekonomi dario sang
istri. Setelah perceraian tersebut, David memutuskan bahwa dia benar-benar
bebas untuk menikmati hidupnya.Dia sangat suka menghabiskan uang untuk dirinya
sendiri, misalnya dengan menghias apaartemennya dengan berbagai benda-benda
yang sangat menarik perhatian.Dia juga seringkali berhubungan dengan
wanita-wanita yang sangat menarik.Dalam pergaulannya, David merasa nyaman
apabila dirinya menjadi pusat perhatian semua orang. Dia pun merasa nyaman
ketika dia berfantasi mengenai kepopuleran yang akan diraihnya, mendapatkan
suatu penghargaan, ataupun memiliki kekayaan berlimpah (sumber : Barlow &
Durant, 1995).
3.
Kluster
C (Ketakutan)
Gangguan kepribadian
yang terdapat di cluster ini memiliki ciri yang tampak selalu cemas dan
ketakutan.
a.
Gangguan Kepribadian Menghindar
(Avoindant)
Ciri utama dari
gangguan kepribadian ini adalah sangat sensitif dengan penolakan dan kritik,
sehingga individu dengan gangguan ini akan menampakkan tingkah laku yang
menghindar. Individu dengan gangguan kepribadian menghindar sering salah paham
dengan kritikan dari orang lain untuknya. Individu ini menganggap bahwa
kritikan tersebut sebagai penghinaan untuk dirinya.
Berikut merupakan
kriteria gangguan kepribadian menghindar berdasarkan DSM-IV-TR.
·
Pola pervasif dari hambatan sosial dan
hipersensitif terhadap evaluasi negative, yang berawal sejak masa dewasa awal.
·
Menghindari aktivitas-aktivitas
okupasional yang melibatkan kontak interpersonal signifikan karena takut
dikritik atau ditolak.
·
Tidak mau terlibat dengan orang-orang
kecuali bila merasa yakin bahwa dirinya akan disukai.
·
Menjauhi hubungan intim karena takut
dipermalukan atau dicemooh.
·
Terokupasi dengan kritikan atau
penolakan diberbagai situasi sosial.
·
Hambatan dalam menghadapi situasi
interpersonal baru karena merasa tidak adekuat (memenuhi syarat).
·
Memandang diri sendiri sebagai orang
yang tidak menarik, tidak layak, atau inferior secara sosial.
·
Keengganan yang tidak lazim untuk
mengambil risiko pribadi atau untuk terlibat dalam aktivtas baru karena takut
dipermalukan.
Contoh kasus avoindant:
Jane tumbuh dan
dibesarkan oleh seoarang ibu yang merupakan pecandu alkohol dan sering kali
melakukan penyiksaan terhadap jane baik secara fisik maupun verbal. Sejak kecil
jane menganggap bahwa perilaku ibunya disebabkan karena dirinya sangat tidak
berharga hingga layak diperlakukan seperti itu. Saat ini jane telah berusia
akhir 20an tahun dan dia tetap berharap bahwa dirinya akan ditolak oleh orang
lain, begitu orang lain menyadari bahwa dirinya tidak berharga atau buruk.
Selain itu jane sangat kritis terhadap dirinya sendiri dan selalu meramalkan
bahwa dirinya tidak akan dapat diterima oleh lingkungan. Dia selalu berfikir
bahwa orang lain tidak akan menyukai dirinya, bahwa orang lain akan melihat
dirinya sebagai pecundang dan dia tidak mungkin dapat melawan hal-hal
itu.apabila seorang penjual koran tidak tersenyum pada jane, maka secara
otomatis jane akan berfikir bahwa itu disebabkan karena dirinya tidak berharga
dan tidak disukai oleh orang lain. Setelah itu dia akan merasa sangat sedih
.bahkan ketika jane mendapatkan respon yang positif dari teman-temannya, dia
tidak pernah memperdulikan hal itu. jane lebih terfokus pada pemikirannya
sendiri. Oleh karena itu dia hanya memiliki sedikit teman dan tidak ada satupun
yang dekat dengan dirinya (sumber: Barlow & Durand,1995).
b.
Gangguan Kepribadian Tergantung
(Dependent)
Individu dengan
kepribadian ini, cenderung bergantung pada orang lain. Individu ini memiliki
rasa percaya diri yang rendah dan merasa tidak nyaman jika harus
sendirian.Individu ini cenderung bersikap patuh dengan nasehat atau
kritikan.Namun, individu tidak mampu mengambil keputusan tanpa adanya nasehat atau
kritik dari lingkungannya.
Berikut merupakan
kriteria gangguan kepribadian tergantung berdasarkan DSM-IV-TR.
·
Kebutuhan pervasif dan eksesif untuk
diurusi orang lain yang menghasilkan perilaku submisif dan takut berpisah, yang
berawal pada masa dewasa awal.
·
Kesulitan dalam mengambil keputusan
sehari-hari tanpa nasihat dan dukungan dari orang lain.
·
Menyandarkan diri pada orang lain untuk
memikul tanggung jawab di bidang-bidang yang penting dalam kehidupannya.
·
Kesulitan dalam mengekspresikan tidak
setuju dengan orang lainkarena takut kehilangan dukungan atau karena kurangnya
rasa percaya diri.
·
Berusaha keras untuk mendapat dukungan
dan perhatian dari orang lain.
·
Ingin segera mendapatkan hubungan baru
untuk dijadikan sumber perhatian dan dukungan bila sebuah hubungan dekat
berakhir.
·
Terpreokupasi secara tidak rasional
dengan ketakutan untuk ditinggalkan dan harus mengurus diri sendiri.
Contoh kasus dependent:
Seorang laki-laki
berusia sekitar 40th dan telah menikah datang dengan keluhan sulit untuk
mengambil keputusan dan merasa tidak nyaman dengan jabatannya di perusahaan.
Saat ini ia menjabat sebagai kepala administrasi. Jabatan sebelumnya adalah
staf administrasi.Sebelumnya dia merasa nyaman karena hanya bekerja dibelakang
meja dan menerima perintah dari atasan.Setelah dipromosikan, akhirnya dia
menjadi seorang pemimpin dan harus mengambil keputusan. Biasanya dia akan
langsung merasakan cemas hingga deg-degan apabila harus mengambil keputusan.
Akhirnya dia menunda keputusan itu, namun kemudian menyerahkan kepada orang
lain untuk mengambil keputusan. Kondisi didalam keluarganya pun tidak jauh
berbeda, seluruh keputusan diserahkan kepada istrinya, bahkan dia tidak pernah
memilih atau membeli baju sendiri.selama bekerja dia selalu menghindar untuk
pergi tugas keluar kota. Alasannya karena tidak ingin jauh dari istri dan yidak
memungkinkan pula bagi istrinya untuk ikut pindah ke luar kota. Setelah
ditelusuri diketahui bahwa ibunya telah meninggal dunia ketika remaja, padahal
iu orang terdekat baginya. Sejak saat itu, ayahnya memegang peranan menentukan
segala hal bagi dia, mulai dari memilih sekolah hingga pekerjaan.Walupun tidak
suka, biasanya dia menuruti instruksi dari ayahnya.
c.
Gangguan Kepribadian
Obsesif-Kompulsif
Ciri utama dari
gangguan kepribadian ini adalah individu cenderung bersikap
perfeksionis.Individu dengan gangguan ini juga bersikap keras kepala, bimbang,
dan sangat teratur.Sehingga menampakkan perilaku yang selalu mengulang-ngulang
melakukan suatu hal.
Berikut merupakan
kriteria gangguan kepribadian obsesif-kompulsif berdasarkan DSM-IV-TR.
·
Pola pervasif dari preokupasi dengan
keteraturan, perfeksionisme, dan control mental dan interpersonal dengan
mengorbankan fleksibilitas, keterbukaan, dan efisiensi, yang berawal pada masa
dewasa awal.
·
Terpreokupasi dengan detail, peraturan,
daftar, organisasi, atau jadwal sampai ke tingkat kehilangan poin pokok
aktivitasnya.
·
Perfeksionisme yang mengganggu
penyelesaian tugas.
·
Menyerahkan diri pada pekerjaan dan
produktivitas sampai ke tingkat eksesif sehingga melupakan kegiatan hiburan dan
pertemanan.
·
Terlalu teliti, cermat, dan tidak
fleksibel tentang masalah-masalah terkait dengan moralitas, etika, atau
nilai-nilai sosial.
·
Tidak mampu mengabaikan benda-benda yang
tidak penting meskipun benda-benda tersebut sama sekali tidak memiliki nilai
sentimental.
·
Tidak mau mendelegasikan tugas atau
bekerja sama orang lain kecuali jika mereka mau mengikuti cara kerjanya.
·
Mengadopsi sikap kikir baik terhadap
diri sendiri maupun orang lain, karena takut tidak memiliki simpanan bila
terjadi bencana di masa dantang.
·
Keras kepala.
Contoh kasus
obsesif-kompulsif:
Setiap hari tepat pada
pukul 8 pagi, danil tiba di universitas dimana dia menjadi mahasiswa di
fakultas psikologi. Dalam perjalanan menuju universitas dia selalu berhenti di
toko seven eleven untuk membeli kopi dan surst kabar (setiap hari kopi dan
surat kabar yang sama). Dari pukul 8 hingga 9.15, danil akan merapikan
file-file yang terdiri dari ratusan kertas yang berhubungan dengan S3-nya, yang
sudah melewati batas waktu pengerjaan. Pada pukul 10.00 pagi hingga waktu makan
siang, dia akan membaca sebuah paper atau jurnal serta menggarisbawahi hal-hal
yang berhubungan dengan disertasinya. Siang hari, pukul 12.00 siang, dia akan
membawa katung makanannya yang selalu berisi roti sandwich dengan selai kacang
dan sebuah apel, lalu pergi kesebuah kafe untuk membeli soda dan duduk seoarng
diri memakan siangnya.dari pukul 13.00-17.00 dia akan mengikuti beberapa
pertemuan,merapikan mejanya,membuat daftar tentang apa yang harus dikerjakannya
dan memasukkan beberapa data kedalam komputernya. Setelah dia tiba dirumah, dia
akan makan malam bersama istrinya, lalu berurusan lagi dengan disertasinya.
Danil selalu rutin “mengerjakan” disertasinya hingga pukul 23.00, walaupun
sebagian besar dari waktu tersebut digunakannya untuk koneksi internet yang
tidak berkaitan dengan disertasinya. Danil sama sekali tidak menunjukkan
tanda-tanda bahwa dia akan menyelesaikan disertasinya sejak 4,5 tahun yang
lalu. Istrinya pun sudah mengancam akan meninggalkan danil karena tidak tahan
lagi dengan tingkah lakunya. Danil kemudian mendatangi terapist dengan keluhan
cemas akan hubungan dengan istrinya, namun dia kemudian didiagnosa memiliki
gangguan kepribadian obsesif-kompulsif (sumber Barlow & Durand, 1995).
4.
Pendekatan Teoretis dalam
Membahas Gangguan Kepribadian
Pendekatan teoretis ini akan membahas penyebab terjadinya gangguan
kepribadian dan penanganan gangguan kepribadian dengan menggunakan beberapa
sudut pandang, yaitu:
a.
Sudut pandang psikodinamik
Sudut pandang ini
menyatakan bahwa penyebab terjadinya gangguan kepribadian itu berasal dari masa
kanak-kanak. Misalnya orang tua yang selalu menyiksa anaknya ketika masa
kanak-kanak anaknya, akan menjadikan anak tersebut tumbuh menjadi individu
dewasa yang memiliki gangguan kepribadian paranoid yang menganggap bahwa
lingkungannya selalu mengancam dirinya.
Cara penanganan
gangguan kepribadian menurut sudut pandang ini adalah dengan membangunkan id
klien unntuk mencari masalah-masalah yang terjadi pada masa kanak-kanaknya, lalu
klien akan dibimbing terapis untuk menyelesaikan masalahnya. Selain itu, klien
juga akan diberikan motivasi.
b. Sudut
pandang biologis
Sudut pandang ini
memandang bahwa terjadinya gangguan kepribadian disebabkan oleh faktor genetik
yang dibawa dari orang tua. Misalnya pada keluarga yang memiliki penderita
skizofrenia lebih besar kemungkinan untuk melahirkan individu yang mengalami
gangguan skizotipal. Sehingga, penanganan yang digunakan sudut pandang ini
lebih kepada terapis obat.
c. Sudut
pandang behavioral
Sudut pandang ini
menganggap bahwa kesalahan orang tua dalam memberikan reward dan punish akan
menghasilkan individu dengan gangguan kepribadian karena dalam masa
perkembangannya tidak terlatih kepekaannya dalam membedakan yang mna yang seharusnya
dilakukan dan yang mana yang tidak. Misalnya anak yang salah tidak pernah
diberikan hukuman oleh orang tuanya, malah diberikan pujian. Hal ini akan
menjadikan anak tersebut pada dewasanya menjadi individu yang memiliki gangguan
kepribadian antisosial.
Penanganan digunakan
sudut pandang ini dengan cara mengindentifikasi dan memperbaiki kepekaan dan
keterampilan/kemampuan klien dalam membedakan yang mana yang seharusnya
dilakukan dan yang mana yang tidak.
d. Sudut
pandang kognitif
Sudut pandang ini menyatakan
bahwa penyebab terjadinya gangguan kepribadian karena keyakinan yang salah
dalam diri seseorang ataupun penerimaan informasi yang salah. Misalnya seorang
yang terlalu meyakini bahwa dirinya merupakan seorang yang lebih istimewah dari
orang lain, maka individu ini akan tumbuh menjadi individu yang memiliki
gangguan kepribadian narsistik.
Penanganan yang
digunakan dalam sudut pandang ini adalah dengan cara membangun hugungan yang
baik antara terapis dengan klien. Baik disini maksudnya hubungan yang erat dan
sehat. Hal ini dilakukan secara bertahap, sampai akhirnya terapis dapat
memperbaiki keyakinan yang salah dalam diri klien.
DAFTAR PUSTAKA
Davison, Gerald
C. dkk. 2006. Psikologi Abnormal. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Durand, V. Mark
dan David H. Barlow. 2006. Intisari Psikologi Abnormal. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Fitri Fausiah dan
Julianti Widury. 2005. Psikologi Abnormal Dewasa Klinis. Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia
King, Laura A.
2010. Psikologi Umum: Sebuah Pandangan Apresiatif. Jakarta: Salemba Humanika
Lahey, Benjamin B.
2007 Psychology An Introduction. New York: McGraw-Hill
Sumber lain:
http://janokogalls.blogspot.com/2011/12/makalah-gangguan-kepribadian.html
http://naruto-skizofrenia.blogspot.com/2009/12/skizofrenia.html
http://psikologi.or.id/psikologi-kognitif/skizofrenia.htm
0 comments:
Post a Comment