abnormalitas

Sunday 28 April 2013


 
ABNORMALITAS 

1.     Pendekatan Biologis
Pendekatan biologis memandang abnormalitas sebagai gangguan internal. Otak, genetik, dan fungsi neurotransmitter yang menyebabkan abnormalitas. Pendekatan biologis tampak pada model medis yang mendeskripsikan abnormalitas sebagai penyakit medis dengan penderita disebut pasien dan ditangani oleh dokter. Oleh karena itu, dalam pendekatan biologis ini penanganan abnormalitasnya dengan menggunakan terapis obat.

2.     Pendekatan Psikologi
Munculnya abnormalitas karena adanya factor-faktor psikologi yang terlibat.

a.       Sudut pandang psikodinamika
Sudut pandang psikodinamika menganggap bahwa gangguan psikologis muncul dari masalah-masalah yang tidak disadari sehingga menimbulkan kecemasan dan perilaku maladaptif. Masalah-masalah yang tidak disadari itu muncul ketika masa kanak-kanak awal, karena tidak terselesaikan masalah-masalah tersebut terdorong masuk ke dalam id. Konflik seksual juga menjadi kunci memahami prilaku abnormal ini.

b.      Sudut pandang behaviorisme
Sudut pandang ini menyatakan bahwa abnormalitas terjadi karena sistem reward dan punishment dari lingkungannya yang tidak pada tempatnya. Hal ini menunjukkan bahwa factor lingkungan berperan dalam abnormalitas.

c.       Sudut pandang kognitif
Abnormalitas terjadi karena adanya faktor lingkungan. Namun, fokus pada faktor sosial kognitif yang berdasarkan pada cara berpikir seseorang tentang pengamatannya, harapan-harapan, dirinya sendiri, serta lingkungannya.

d.      Sudut pandang sifat
Sudut pandang ini menyatakan bahwa karakterristik individu merupakan pengukuran terhadap gangguan psikologis, terutama gangguan kepribadian. Sudut pandang ini menganggap karakteristik dan perilaku individu yang atipikal dari populasi merupakan abnormalitas.

e.       Sudut pandang humanistik
Kualitas pribadi seseorang, kemampuannya bertahan, kebebasannya dalam menentukan tujuan merupakan fokus dari sudut pandang ini. Abnormalitas muncul karena tekanan dari lingkungannya yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu untuk mengembangkan potensinya.

3.     Pendekatan Sosio-kultural
Pendekatan ini memandang bahwa gangguan psikologis muncul karena konteks sosial, seperti status ekonomi, etnis, gender, budaya, dan sebagainya. Misalnya, gangguan psikologis muncul pada seorang anggota keluarga. Jika menggunakan pendekatan ini, maka faktor terjadinya gangguan psikologis adalah ketidak efektifan dari fungsi keluarga. Individu dengan penghasilan rendah lebih rentan terhadap gangguan psikologis daripada yang berpenghasilan tinggi.

4.     Pendekatan Interaksi (Model Biopsikosial)
Pendekatan ini menyatakan adanya interaksi antara faktor biologis, psikologi, dan sosial yang menyebabkan munculnya gangguan psikologis. Ketiga elemen ini membentuk kombinasi unik yang membedakan satu individu dengan individu lain. Pendekatan ini menyatakan bahwa diantara faktor-faktor tersebut, tidak ada yang dianggap lebih penting karena ketiga faktor tersebut saling memengaruhi satu sama lain.


B.   Gangguan Suasana Perasaan (Mood Disoder)
Contoh Kasus:
Katie adalah seorang anak yang menarik namun pemalu. Selama beberapa tahun, ia jarnag berinteraksi kecuali dengan keluarganya karena kecemasan sosial yang tinggi. Kontak sosialnya terus menurun dan saat umur 16 tahun ia menderita depresi menyeluruh. Depresi yang dialaminya seperti jatuh ke dalam lubang namun tidak ada yang menolongnya ketika ia menjerit.
Tahun-tahun sebelumnya, Katie sering menangis berjam-jam di malam hari. Orangtuanya kemudian pun mengizinkannya minum minuman beralkohol. Kebiasaan ini semakin lama semakin parah. Suatu ketika Katie merasa lelah dengan kecemasan dan depresi yang datang pergi. Ia mulai memikirkan tentang bunuh diri. Dalam waktu singkat ia memutuskan hubungan inerpersonalnya. Ia susah diajak bicara dan emosional. Suatu hari, ia bertengkar dengan ibunya karena hal sepele. Ia pun marah dan masuk ke kamarnya. Ia kemudian minum vodka yang sangat banyak hingga tidak merasa sakit ketika mencubit dirinya. Ia kemudian memotong urat nadinya. Ia tidak merasakan apapun kecuali perasaan hangat ketika darah mengalir. Secara tiba-tiba, ia tidak yakin bahwa itu dapat membunuhnya. Ia pun meminta ibunya menghentikan pendarahan.
Secara bertahap, kehidupannya mengalami kemunduran. Ia tidak mendapat penanganan yang baik. Ketika ia dapat mengatasi emosinya dengan baik, ia pun mengikuti kursus dan sadar bahwa ia suka belajar. Suatu hari cintanya bertepuk sebelah tangan. Ia pun kembali minum minuman keras dan ketika sadar, tubuhnya dipenuhi muntahannya sendiri. Ia sadar itu dapat membunuhnya dan ia belum yakin mau mati.
Katie kemudian merubah cara pandang hidupnya. Ia menganggap periode depresinya sebagai bagian dirinya namun bukan seluruh dirinya. Ia berusaha fokus pada tujuan-tujuan hidupnya. Ia juga meyakini jika satu strategi gagal, maka masih ada strategi yang bisa dicapai.

1.     Pengertian
Gangguan suasana perasaan adalah gangguan psikologis yang ditunjukkan dengan adanya penyimpangan/deviasi  pada suasana perasaan (mood) manusia dan berlangsung lama dalam emosionalitas. Gangguan suasana perasaan ini termasuk gangguan psikologis yang paling sering ditemui manusia  terutama oleh orang muda.
Gangguan suasana perasaan umumnya ditandai dengan munculnya depresi dan mania. Depresi dapat terjadi sendiri dalam bentuk  depresi berat (major depressive episode ) sedangkan mania  biasanya muncul secara bergantian dengan depresi dalam selang waktu tertentu. Berikut ini akan dijelaskan satu per satu episode tersebut :

a.       Depresi berat (major depressive episode)

DSM-IV-TR menyatakan bahwa depresi berat adalah keadaan dengan suasana perasaan yang paling ekstrem yang dapat berlangsung hingga kurang lebih dua minggu. Jika tidak mendapat penanganan, episode depresi berat ini akan berlangsung paling lama 9 bulan dan kemudian akan hilang dengan sendirinya(Eaton dkk ,1997; Tollefson, 1993).
 Individu yang mengalami episode depresi berat  biasanya mengalami gejala-gejala kognitif dan terganggunya fungsi fisik. Indikator yang paling utama dari episode depresi berat ini adalah perubahan fisik (gejala somatik/vegetatif) dan behavioral and emotional “shut down” (perilaku dan emosi yang “padam”).
 Gejala –gejala kognitif dapat berupa perasaan tidak berharga, perasaan bersalah, hilangnya ketertarikan terhadap segala hal atau ketidakmampuan merasakan kesenangan dalam kehidupannya (anhedonia). Individu biasanya meyakini bahwa masa depannya akan suram dan tidak melihat adanya alasan untuk hidup, yang menyebabkan munculnya pikiran-pikiran untuk mati dan bunuh diri. Selain itu , tidak munculnya rasa belasungkawa karena kehilangan / kematian seseorang.
Kesenangan dalam hidup dapat berupa interaksi / hubungan dengan teman atau keluarga, prestasi di sekolah maupun di tempat kerja. Dalam episode depresi berat, Anhedonia merupakan gejala yang lebih menonjol dibandingkan gejala-gejala lainnya seperti  kesedihan , distress (Kasch dkk,2002) , ataupun kecenderungan untuk menangis  (kebanyakan wanita) (Rottenberg, Gross, wihelm, Najmi, dan Gotlib, 2002). Anhendonia ini menunjukkan bahwa dalam episode depresi berat , seorang indvidu memeiliki afek positif yang rendah dan afek negatif yang tinggi (Kasch dkk,2002).
Gangguan fungsi fisik yaitu segala jenis perubahan negatif yang terjadi pada fisik atau tubuh individu pederita depresi berat.  Gangguan fisik yang umumnya terjadi adalah perubahan pola tidur, perubahan nafsu makan, penurunan berat badan yang signifikan, kehilangan energi, insomnia, serta penurunan konsentrasi dan kemampuan berpikir.

b.      Mania (manic episode)

Mania adalah keadaan yang berlawanan dari episode depresi. Mania merupakan gangguan suasana perasaan yang dinikmati oleh penderita tetapi sebenarnya merugikan diri sendiri dan orang di sekitarnya. Pada mania,  suasana perasaan individu berupa kegirangan, kegembiraan atau euphoria yang eksesif. Individu merasa kegembiraan luar biasa, aktif luar biasa (hiperaktif) , dan hanya memerlukan sedikit tidur. Individu dalam episode mania umumnya merencanakan  berbagai hal-hal luar biasa dan yakin bahwa mereka dapat mencapainya. Biasanya individu akan berusaha mengungkapkan rencana mereka sekaligus sehingga ucapan mereka menjadi tidak koheren dan sangat cepat. Keadaan ini disebut flight of ideas.
DSM-IV-TR mensyaratkan durasi satu minggu atau kurang dari satu minggu ( episode yang cukup parah) bagi individu untuk menunjukkan bahwa ia membutuhkan perumahsakitan. Hal ini biasa dilakukan jika individu mulai melakukan sesuatu yang merusak dirinya sendiri, jika ada anggota keluarga atau kerabat dekat yang ingin mengontrol si individu, maka ia bisa saja menolak dengan emosi tinggi. Jika tidak mendapatkan penanganan, episode durasi akan berlangsung 3-6 bulan (Goodwin dan Jamison, 1990; Angst dan Sellaro, 2000).
Contoh: seorang individu terlibat belanja dengan hutang ribuan dolar Amerika dengan harapan akan menghasilkan jutaan dolar keesokan harinya.

2.     Jenis-jenis Gangguan Suasana Perasaan

Ada beberapa jenis gangguan suasana perasaan pada individu. Jenis-jenis tersebut dibagi berdasarkan tingkat keparahan depresi atau mania, dan ada tidaknya episode depresi dan mania pada individu.
Berdasarkan frekuensinya, episode-episode depresi terbagi atas:
a.       Major Depressive Disorder, Single Episode
Keadaan dimana individu hanya mengalami episode depresi saja tanpa adanya episode manik atau hipomanik sebelum dan sesudah gangguan. Episode depresi yang hanya terjadi sekali seumur hidup sangatlah jarang terjadi. (Angst dan Preizig,1996 ; Judd, 1991,2000; Mueller dkk,1999; Solomon dkk,2000)

b.      Major Depressive Disorder, Recurrent  
Keadaan dimana individu mengalami episode depresi yang muncul lebih dari sekali. Episode yang termasuk terpisah dari episode sebelumnya adalah episode yang muncul lagi setelah kurang lebih 2 bulan dari episode pertama, dimana dalam dua bulan tersebut individu tidak mengalami gejala depresi.

Episode-episode mania terbagi atas:
a.       Hypomanic Episode
Episode manic yang tidak begitu berat seperti manik penuh. Episode ini tidak menyebabkan masalah, hanya berperan dalam gangguan suasana perasaan seorang individu.
b.      Mixed Manic Episode/ Dysphoric Episode
Keadaan dimana seorang yang merasakan kegirangan (manik) juga merasakan depresi / kecemasan dalam waktu yang sama.

Berdasarkan ada tidaknya depresi dan mania pada individu, gangguan suasana perasaan terbagi atas:
a.       Unipolar Mood Disorder  (Gangguan Suasana Perasaan Unipolar)
Keadaan dimana individu hanya menderita depresi atau mania saja. Mania dapat terjadi secara unipolar tetapi jarang. (Solomon dkk, 2003).

b.      Dysthymic disorder (gangguan distimik)
Suasana perasaan depresi pada seorang individu  yang berlangsung pada individu paling tidak selama 2 tahun. Gangguan ini  serupa dengan depresi berat namun lebih ringan dan lebih lama.

c.       Double Depression  (Gangguan Depresi Ganda)
Gangguan pada individu yang ditandai dengan adanya episode-episode depresi berat yang dilatarbelakangi adanya gangguan distimik.

d.      Bipolar Mood Disorder  (Gangguan Suasana Perasaan Bipolar)
Keadaan dimana episode depresi dan episode mania mucul secara bergantian dalam periode dan selang waktu tertentu. Individu biasanya naik turun dari puncak kebahagiaan yang meluap-luap ke dasar keputusasaan yang mendalam.

Gangguan bipolar ini terbagi dua ,yaitu :
·         Gangguan Bipolar I
Gangguan bipolar I adalah pergantian antara episode depresif berat dengan episode manik penuh.
·         Gangguan Bipolar II
Gangguan bipolar II adalah pergantian antara episode depresif berat dengan episode hypomania.

e.       Cyclothymic Disorder  (Gangguan Siklotimik)
Keadaan yang lebih ringan namun lebih kronis dari gangguan bipolar. Penderita gangguan ini mengalami gejala depresi ringan (distimia) dan  episode hipomania secara bergantian.
Penderita gangguan ini cenderung berada di salah satu episode selama bertahun-tahun, serta cenderung sangat sedikit periode dengan suasana perasaan yang netral (eutimia).
Penderita gangguan ini berisiko mengembangkan  gangguan bipolar yang lebih berat.

3.     Pola Perkembangan Gangguan Suasana Perasaan

Terdapat tiga jenis specifiers yang menyertai mania dan depresi berulang yang juga menunjukkan adanya perbedaan penanganan dengan pola-pola yang berbeda.
a.    Longitudinal course spicifiers
Pola ini mencari tahu apakah penderita depresi berat pernah mengalami episode yang sama sebelumnya. Apakah si penderita pernah mengalami gangguan distimia atau siklotimik sebelumnya? Begitu juga keterangan ada tidaknya kesembuhan total antara episode-episodenya. Keterangan yang diperoleh sangatlah penting terutama dalam tahap penanganannya.

b.   Rapid-cycling spicifiers
Pola ini hanya berlaku untuk gangguan bipolar. Orang yang dianggap memiliki pola siklus yang cepat apabila individu tersebut mengalami episode depresi atau mania minimal 4 kali dalam setahun. Beberapa ahli menyatakan bahwa tiingkat percobaan bunuh diri akan lebih tinggi. Beberapa bukti juga menyatakan bahwa penderita dengan pola inin perlu diberikan obat antikonvulsan dan mood stabilizer (penstabil suasana perasaan).
McElroy dan Keck (1993)menyatakan bahwa penderita dengan siklus yang cepat umumnya dimulai dengan episode depresi berat dan bukan episode manic . Umumnya, frekuensi siklus yang cepat meningkat dari waktu ke waktu dan mencapai keadaan berat dimana individu mengalami episode depresi dan manic tanpa istirahat. Pergantian episode yang langsung terjadi ini disebut rapid switching (pergantian yang cepat) atau rapid mood switching (pergantian suasana perasaan yang cepat). Siklus yang cepat ini umumnya akan berubah ke siklus yang tidak cepat dalam waktu  2 tahun (Coryell dkk, 2003).

c.    Seasonal pattern spicifiers
Pola ini berlaku pada gangguan bipolar dan depresi berat berulang. Gangguan suasana yang muncul tampaknya dipengaruhi oleh musim. Pola yang paling umum adalah munculnya episode depresi pada akhir musim gugur dan akan berakhir pada awal musim semi. Pada gangguan bipolar, episode depresi berat akan muncul pada akhir musim gugur dan menjadi episode manic pada musim panas. Keadaan ini disebut juga Seasonal Affective Disorder (gangguan afektif musiman).
 Sebagian besar dari gangguan perasaan musiman ini melibatkan depresi musim dingin (winter deppresion).  Depresi musim dingin ini cukup berbeda dari episode depresif berat. Orang yang mengalami depresi musim dingin cenderung tidur telalu banyak ,nafsu makan meningkat yang menyebabkan berat badan meningkat.
Bukti-bukti menunjukkan bahwa penyebab dari SAD ini adalah karena meningkatnya produksi hormon melatonin pada tubuh. Hormon melatonin ini disekresikan oleh kelenjar pineal pada malam hari dan akan meningkat produksinya pada musim salju karena kurangnya cahaya matahari. Satu satunya teori yang dapat mendukung adalah produksi melatonin dapat memicu depresi pada orang yang rentan. (Goodwin dan Jamison,1990 ; Lee dkk, 1998)


4.     Prevalensi Gangguan Suasana Perasaan
Beberapa studi telah menunjukkan bahwa adanya prevalensi gangguan suasana perasaan. (Kessler dkk,1994 ; Weisman dkk ,1991) Studi itu menyatakan adanya perbedaan kerentanan gangguan suasana perasaan pada individu. Perbedaan itu dapat ditemukan antar gender, umur , ataupun social.  Berbagai ahli telah sepakat bahwa wanita memiliki kemungkinan dua hingga tiga kali lebih tinggi daripada pria untuk menderita depresi berat dan distimia. Sedangkan untuk gangguan bipolar, wanita dan pria mempunyai kemungkinan yang sama.

a.       Prevalensi depresi
Masyarakat luas berasumsi bahwa bahwa bayi dan anak-anak tidaklah mungkin mengalami depresi. Ini dikarenakan masyarakat percaya bahwa seorang dapat mengalami depresi apabila mengalami suatu masalah berat. Pada kenyataannya , bayi dan anak-anak juga dapat mengalami depresi. Field dan kawan kawan (1988) menyatakan bahwa bayi dari ibu-ibu depresi memperlihatkan perilaku depresif yang nyata ,seperti : wajah sedih, gerakan yang lamban, kurang responsif.  Pada anak-anak, adalah hal yang normal apabila suasana perasaannya terus berfluktuasi. Seorang remaja akan mengalami depresi apabila aktivitasnya dibatasi karena sakit atau cedera.
Gangguan depresi pada dasarnya tidak terlalu sering pada anak-anak. Namun kemungkinanya meningkat tajam ketika anak mencapai tahap remaja. Pada anak-anak belia, gangguan distimia lebih sering terjadi, sedangkan pada remaja depresi berat memiliki kemungkinan yang lebih tinggi. Fakta menyatakan pada masa anak-anak, anak laki-laki memilike kemungkinan lebih tinggi untuk mengalami depresi sedangkan pada masa remaja,depresi berat lebih banyak  dialami oleh remaja putri.
Fergusson dan Woodward mengidentifikasikan remaja mengembangkan depresi pada umur 14-16 tahun dan akan berkembang menjadi depresi berat pada umur 16-21 tahun. Remaja-remaja ini umumnya berisiko mengembangkan gangguan kecemasan, ketergantungan obat-obatan, nikotin dan alkohol, percobaan bunuh diri, educational underachievement (prestasi lebih rendah dari potensi sebenarnya ) dan terlalu dini menjadi orangtua.
Pada lanjut usia, lansia yang menderita depresif berat cenderung menjadi kronis bila episode pertama muncul pada umur 60 tahun. Setelah umur 65 tahun, kemungkinan depresi antar wanita dan pria telah menjadi sama. Depresi pada lansia sulit untuk didiagnosis karena kemunculan gangguan suasana perasaan diperkompleks ,misalnya, dengan kemunculan keadaan sakit atau gejala medis demensia/kepikunan (Blaze,1989 ; Small 1991) . Faktor penyebab depresi yang paling kuat pada lansia adalah karena kurangnya dukungan sosial dan hilangnya independensi akibat sakit.

b.      Prevalensi mania
Untuk mania, anak-anak berumur kurang dari 9 tahun umumnya menunjukkan lebih banyak emosi dibandingkan episode mania. Keadaan ini sering disalahartikan  sebagai gejal hiperaktivitas. Remaja memiliki kemungkinan menunjukkan gejala mania yang lebih tinggi.

c. Prevalensi gangguan bipolar
Gangguan bipolar jarang terjadi pada masa kanak-kanak. Beberapa kasus gangguan bipolar pada anak-anak sering disalah-artikan sebagai conduct disorder ( gangguan tingkah laku) atau attention deficit / hyperactivity disorder (ADHD) (gangguan pemusatan perhatian dengan hiperaktivitas). Prevalensi gangguan bipolar juga akan meningkat tajam pada masa remaja. Kebanyakan penderita gangguan bipolar juga mengakui bahwa onset pertama mereka adalah saat berumur belasan tahun. (Keller dan Wundt,1990).

5.  Tumpang Tindih antara Kecemasan dan Depresi

Beberapa ahli menyimpulkan bahwa kecemasan dan depresi adalah dua hal yang mirip. Hal ini bertolak belakang dimana seseorang merasakan hal yang berbeda ketika merasa cemas atau mengalami depresi.
Penelitian menyatakan  Hampir semua orang yang mengalami depresi , juga mengalami kecemasan. Tetapi tidak semua orang yang mengalami gangguan kecemasan juga mengalami depresi”(Barlow dkk, 2002) . Ini berarti bahwa gejala inti dari depresi tidak ditemukan pada kecemasan, dan merupakan gejala depresi murni. Beberapa gejala yang menandai gejala depresi dan kecemasan disebut gejala afek negatif  karena bukan merupakan gejala spesifik dari suatu gangguan (Brown dkk ,1998 ; Telegan ,1985). Gejala afek ini lebih ringan dibandingkan kecemasan atau depresi penuh , namun mempertinggi risiko akan gangguan yang lebih berat.

Gejala-gejala depresif murni yaitu :
a.    Tidak mampu merasakan kesenangan
b.   Merasa tak berdaya
c.    Kehilangan interes
d.   Pikiran bunuh diri
e.    Hilangnya libido

Gejala-gejala kecemasan  murni yaitu :
a.    Ketegangan
b.   Gugup
c.    Gemetaran
d.   Kekhawatiran sekali
e.    Mimpi buruk

Gejala-gejala afek negatif yaitu :
a.    Insomnia
b.   Tidur tidak memuaskan
c.    Kekhawatiran
d.   Konsentrasi buruk
e.    Menangis
f.    Mengantisipasi kemungkinan terburuk
g.   Perasaan bersalah
h.   Perasaan tidak berharga
i.     Letih
j.     Kemampuan mengingat buruk

6.  Penyebab Gangguan Suasana Perasaan
Para psikopatologis menyatakan bahwa ada beberapa faktor atau penyebab munculnya gangguan suasana perasaan. Dalam hal ini berlaku  prinsip equifinality, yaitu sebagai hasil yang sama dari berbagai penyebab yang berbeda. Faktor-faktor penyebab depresi meliputi faktor biologis, psikologis, dan sosial. Teori integratif kemudian juga mempertimbangkan adanya interaksi dimensi-dimensi biologis, psikologis dan sosial.

a.  Faktor Biologis
Adanya kontribusi genetik untuk gangguan tertentu. Dalam penelitian digunakan strategi family studies and twins studies.

·         Keluarga dan Genetik
Penelitian menemukan bahwa dalam suatu keluarga, angka anggota keluarga yang diketahui memiliki gangguan (proband) dua sampai tiga kali lebih tinggi dibandingkan anggota keluarga yang tidak ada gangguan(Gershon,1990 ; Klein dkk, 2002 ). Bukti terbaik ditemukan dari studi dengan orang kembar. Sejumlah studi menyatakan, jika salah satu  anak kembar menderita gangguan suasana perasaan, maka kemungkinan pasangan kembarnya juga mengalami gangguan pada kembar identik adalah tiga kali lebih tinggi dari pasangan kembar non identik. Tingkat keparahan dari gangguan ini bergantung pada concordance  (seberapa banyak  sesuatu dimiliki bersama )dari pasangan kembar tersebut.
McGuffin dan kawan-kawan (2003) menyatakan bahwa penderita gangguan bipolar juga secara genetik rentan terhadap depresi dan secara independen rentan terhadap mania. Berbagai bukti juga menunjukkan adanya kerentanan genetik yang mendasari gangguan suasana perasaan, terutama pada perempuan.
Gangguan kecemasan dan depresi juga dipengaruhi oleh sel yang  sama sehingga menjadi alasan mengapa kedua gangguan ini dikatakan mirip. Adanya perbedaan antara penderita yang mengalami depresi dengan yang mengalami kecemasan dipengaruhi faktor psikologis dan faktor sosial.

·         Sistem Neurotransmitter
Sistem neurotransmitter memiliki banyak subtipe dan saing berinteraksi dengan cara yang kompleks. Peneliti menyatakan tingkat serotonin yang rendah sebagai penyebab gangguan suasana perasaan dari segi hubungannya dengan neurotransmitter, seperti norepinefrin dan dopamine (Goodwin dan Jameson, 1990 ; Spoont ,1992).  Fungsi primer dari serotonin adalah mengatur reaksi emosional manusia. Menurut hipotesis “ permisif ” , ketika tingkat serotonin rendah, neurotransmitter lainnya “diizinkan” (permitted) untuk membuat kisaran yang lebih luas, menjadi disregulasi yang menyebabkan ketidakteraturan suasana perasaan (mood irregularities ).

·         Sistem Endokrin
Pasien penderita penyakit yang memengaruhi sistem endokrin kadang-kadang juga mengalami depresi. Contohnya hipotiroidisme, atau Cushing’s disease, yang mengakibatkan sekresi eksesif kortisol. Kortisol merupakan hormon stress yang meningkat selama peristiwa stressful. Meningkatnya tingkat kortisol akan menyebabkan stress pada penderita.

·         Ritme Tidur dan Sirkadian
Gangguan tidur telah menjadi salah satu gejala bagi kebanyakan gangguan suasana perasaan. Telah dibahas sebelumnya bahwa penderita SAD mengalami gangguan tidur yang berupa waktu tidur yang bertambah. Sedangkan pada penderita depresi ,hanya ada waktu yang lebih pendek secara signifikan sebelum tidur REM dimulai. Tahapan tidur sebelum tidur REM, tahapan tidur yang paling nyenyak, hanya berlangsung pendek atau tidak sama sekali.
Sebuah temuan menarik yaitu bahwa pasian yang mengalami deprivasi tidur menyebabkan terjadinya perbaikan temporer pada kondisinya(Giedke dan Schwarzler, 2002 ; Wehr dan Sack,1988 ). Ketika mereka mulai tidur dengan normal, maka depresinya akan muncul kembali.

·         Aktivasi Gelombang Otak
Dalam otak terdapat tipe aktivitas gelombang otak, gelombang alpha, yang mengindikasikan perasaan tenang dan positif. Para peneliti mencatat bahwa adanya aktivasi alfa yang lebih besar pada anterior sebelah kanan pada penderita depresi. Aktivitas alfa ini juga ditemukan pada orang yang tidak lagi mengalami depresi (Gotlib, Ranganath, dan Rosenfeld, 1998). Peneliti  menyimpulkan bahwa fungsi otak itu telah ada sebelum individu mengalami depresi dan merepresentasikan kerentanan terhadap depresi. Bila temuan ini mendapat konfirmasi, maka fungsi otak seperti ini dapat menjadi indikator kerentanan biologis terhadap depresi.


b.     Faktor Psikologis
Faktor penyebab gangguan yang merupakan pengalaman pribadi setiap individu.

·         Kesedihan
Depresi berat yang muncul akibat kehilangan atau kematian seseorang adalah hal yang biasa yang tidak dikategorikan sebagai gangguan. Namun berbeda halnya apabila muncul gejala-gejala berat seperti pikiran bunuh diri, tidak berdaya akibat kehilangan berat badan secara signifikan dan kehilangan energi.
Para professional menjadi khawatir apabila seorang individu tidak berduka ketika orang yang dicintainya meninggal. Ini karena kesedihan merupakan cara alamiah untuk menghadapi dan mengatasi  kehilangan yang dialami. Namun, jika kesedihan berlangsung lebih lama dari durasi normalnya, maka hal itu juga akan menjadi sebuah gangguan.
Kesedihan yang terlalu dalam dapat mengubah respons dukacita normal menjadi pathological grief reaction (reaksi berkabung patologis) atau impacted grief reaction (reaksi berkabung yang menghimpit). Gejala yang paling menonjol yaitu ingatan instrusif dan kerinduan yang sangat kuat yang menyebabkan distress terhadap orang yang dicintai dan menghindari orang atau tempat yang mengingatkan pada orang yang dicintai itu (Horowitz dkk,1907).

·         Peristiwa Hidup yang Stressful
Stress dan trauma merupakan dua penyebab utama gangguan depresi. Dalam mengetahui penyebab depresi kita umumnya mencari tahu apa peristiwa stressful dan traumatik yang pernah muncul. Namun sebenarnya kita perlu mengetahui apakah konteks dan makna dari kejadian tersebut bagi individu tersebut. Suatu kejadian pemicu yang sama dapat memberikan akibat yang berbeda bagi individu yang berbeda.
Meskipun konteks dan makna lebih penting daripada kejadiannya, ada juga kejadian yang sangat mungkin menjadi penyebab depresi tanpa perlu diketahui makna dan konteksnya. Salah satunya adalah putus-hubungan, yang sulit dihadapi remaja (Monroe dkk, 1999) maupun orang dewasa (Kendler dkk,2003).  Pada seorang pasangan kembar, bila salah seorang pasangan kembar mengalami kehilangan, maka kemungkinan ia menderita depresi 10 kali lipat lebih tinggi dari pasangan yang tidak mengalami kehilangan. Jika seseorang merasa terhina akan kehilangannya (contoh : ditinggal pasangan yang selingkuh dengan orang lain), maka kemungkinan depresinya adalah 20 kali lipat lebih tinggi.
Kejadian hidup yang stressful mungkin berperan dalam memicu mania atau depresi awal. Ketika gangguan itu berkembang, episode-episode yang ada akan berkembang dengan sendirinya dan proses fisiologis akan memastikan bahwa gangguan itu terus berlanjut (Post dkk, 1993). Kejadian hidup yang stressful tidak hanya memancing timbulny gangguan, juga mencegah terjadinya kesembuhan (Johnson dan Miller,1997).

·         Learned Helplessness
Individu akan menjadi cemas dan depresi saat mereka memutuskan dan membuat atribusi bahwa mereka tidak memiliki control atas stress yang mereka alami (Abrahamson, Seligman dan Teasdale,1879 ; Miller dan Norma , 1979). Teori ini kemudian menjadi Learned helplessness theory of depression.
Hal yang paling utama yaitu kecemasan adalah respons yang utama dalam mengatasi situasi stressful. Depresi muncul dari keputusaasaan tentang kemampuan mengatasi kejadian hidup yang sulit (Barlow , 1988,2002).

Style atribusional depresif bersifat:
-          Internal      :Meyakini semua kejadian negative akibat ketidakmampuan sendiri.
-          Stabil         :Atribusi semua kejadian negatif akibat diri sendiri tetap ada meskipun telah berlalu.
-          Global       :Atribusi semua kejadian negatif akibat diri sendiri meluas ke berbagai isu.
Bukti-bukti kemudian menunjukkan bahwa style atribusional negatif ini tidak khas pada depresi melainkan ciri-ciri pasien kecemasan (Hankim dan Abramson,2001 ; Heimberg dkk, 1989; Barlow 2002). Para ahli juga menambahkan bahwa baik penderita depresi maupun kecemasan merasa tidak berdaya dan percaya mereka tidak memiliki control. Namun, hanya penderita depresi yang kemudian putus asa, menyerah dan merasa tidak mungkin bisa mendapat control mereka kembali.

·         Negative Cognitive Style
Aaron T.Beck menyatakan bahwa depresi juga dapat muncul dari kecenderungan menginterpretasikan kejadian sehari-hari secara negatif. Penderita depresi umumnya merasa bahwa kemunduran sekecil apapun merupakan bencana besar. Paul Hewitt dan Gordon Flett menyatakan bahwa seorang yang perfeksionis rentan mengalami depresi hanya karena kegagalan kecil dalam pekerjaannya. Seseorang yang perfeksionis dalam interaksi sosial juga dengan mudah mengalami depresi apabila hubungan sosialnya tidak berjalan dengan baik . Gotlib(1992) menyatakan : “it is not bad things happening to us that is upsetting, it is our interpretation of them that makes all the difference”.

Dua tipe cognitive errors pada pasien depresi yaitu :
-          Arbitrary inference :  pengambilan kesimpulan yang membabi buta dimana seseorang menyimpulkan sebuah situasi dari aspek-aspek negative bukan aspek-aspek positif.
-          Overgeneralization :   generalisasi yang berlebihan.
Penderita depresi selalu berpikir negatif tentang dirinya sendiri, dunianya, dan masa depannya , atau tiga bidang yang disebut depressive cognitive triad (tiga serangkai kognisi depresif). Penderita juga cenderung mengembangkan skema negatif  yang bersifat “ menyalahkan diri sendiri” atas semua hal buruk yang terjadi. Cognitive errors dan skema negatif ini tidak disadari penderita bahwa cara berpikirnya negative dan tidak logis. Kejadian-kejadian negative yang sepele dapat menimbulakn episode depresif yang berat.

c.      Faktor Sosial dan Kultural
·         Hubungan Perkawinan
Gangguan/disrupsi dalam sebuah hubungan sering menyebabkan depresi, termasuk perkawinan yang tidak memuaskan. Tingkat depresi pada wanita yang mengalami perpecahan perkawinan  tiga kali lebih tinggi daripada yang perkawinannya utuh. Sedangkan pada pria sembilan kali lebih tinggi. Dengan kata lain, apabila terjadi perceraian pada sebuah perkawinan, maka laki-laki menghadapi resiko yang lebih besar untuk mengembangkan perkawinan.
Temuan penting dari kelompok Monroe (1986) yaitu perlunya membedakan antara marital conflict (konflik perkawinan) dan marital support(dukungan perkawinan). Temuan lain juga menemukan bahwa depresi yang berlanjut pada seorang individu dapat mengakibatkan kemunduran substansial dalam perkawinan.
Konflik dalam perkawinan memiliki efek yang berbeda bagi pria dan wanita. Depresi akan membuat pria menarik diri dan merusak hubungan perkawinan. Sedangkan bagi wanita, konflik dalam perkawinan cenderung membuat dirinya mengalami depresi.

·         Gangguan Suasana Perasaan pada Perempuan
Penelitian menunjukkan bahwa hampir 70% penderita gangguan depresi dan distimia adalah perempuan. Ketidakseimbangan ini terjadi di seluruh dunia dengan persentase yang berbeda. Barlow (1998,2002) menyatakan ketidaksetaraan ini disebabkan ketidakmampuan mengontrol yang ada pada pria tetapi tidak pada wanita . Perbedaan ini karena faktor kultural dalam masyarakat. Laki-laki didorong untuk mandiri dan masterful , sedangkan perempuan diharapkan lebih pasif, sensitif,  dan lebih bergantung pada orang lain.
Dependansi dan kepasifan wanita membuat dirinya berisiko akan gangguan emosional karena meningkatkan perasaan tidak dapat mengontrol dan perasaan tidak berdaya mereka. Constance Hammen berpendapat bahwa nilai yang ditanamkan perempuan dalam sebuah hubungan intim membuat mereka berisiko. Jika terjadi gangguan dalam hubungan intim tersebut , maka perempuan dengan perasaan tidak berdayanya akan  lebih parah “kerusakannya” daripada pria. Akan tetapi jika gangguan dalam hubungan itu mencapai tahap perceraian, maka “kerusakan” pada pria lebih parah.
Perbedaan tingkat depresi antar laki-laki dan perempuan juga dikarenakan perbedaan cara mengatasi masalah. Perempuan cenderung terus memikirkan masalah yang ada dan yakin bahwa masalah yang terjadi merupakan kesalahannya . sedangkan pria cenderung menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas untuk menyingkirkan perasaannya dari pikiran (Jacobson dkk, 2001 ; Lewinsohn dan Gotlib, 1995).

·         Dukungan Sosial
The evil eye atau kekurangan dukungan social di masa tua merupakan salah satu penyebab dari kematian dini. Semakin tinggi frekuensi dan semakin banyaknya hubungan da kontak social kita, maka semakin tinggi pula harapan kita (House dkk,1988). Ini menyatakan bahwa pentingnya dukungan social bagi penderita depresi terutama dalam proses penyembuhannya. Jaringan pertemanan dan keluarga yang suportif secara social membantu terjadinya kesembuhan yang cepat dari episode depresif tetapi tidak untuk  episode manik.

d.     Teori Integratif
Pada dasarnya, depresi dan kecemasan mungkin memiliki kerentanan biologis yang setara yang ditentukan secara biologis. Kerentanan yang dimaksud adalah kerentanan untuk mengembangkan depresi/kecemasan itu sendiri , bukan kerentanan akan depresi /kecemasan.  Orang yang mengembangkan kerentanan gangguan suasana perasaan ini juga mengalami kerentanan psikologis dimana ia merasa tidak mampu mengatasi kesulitan yang dihadapi.  Penyebab dari kerentanan psikologis ini dapat diacak dari dari pengalaman adversif pada anak, seperti kesengsaraan . Taylor dan Ingram (1999) menyatakan bahwa anak dari ibu yang depresi memiliki konsep diri yang kurang positif dan pemrosesan informasi secara negatif.
Teori integrative menyatakan bahwa adanya interaksi antara faktor biologis, psikologis dan sosial yang memengaruhi perkembangan gangguan suasana perasaan. Seseorang dengan kerentanan biologis juga memiliki kerentanan psikologis, dimana dengan kejadian stressful akan  menyebabkan aktifnya hormon stress, masalah dalam hubungan interpersonal, kurangnya dukungan sosial dan akan membuat seseorang itu mengalami gangguan suasana perasaan.

7.     Penanganan Gangguan Suasana Perasaan
Hingga saat ini, masih banyak kasus depresi yang tidak ditangani dengan semestinya. Faktor utamanya yaitu karena professional perawat kesehatan dan pasien tidak dapat mengenali dan mendiagnosis depresi dengan benar. Selain itu, mereka tidak menyadari adanya  penanganan-penanganan yang efektif dan berhasil (Hirscfeld dkk,1997).

Ada beberapa jenis cara menangani depresi, yaitu :
a.       Pengobatan
Pengobatan depresi menggunakan 3 jenis antidepresan dan lithium. Namun penanganan dengan obat yang efektif pada orang dewasa belum tentu efektif pada anak (American Psychiatric Association ,2000). Tujuan dari pemberian obat pada dasarnya untuk menunda episode depresif berikutnya .
Ada 3 jenis antidepresan yang digunakan. Antidepresan trisiklik, memengaruhi kerja neurotransmitter. Obat ini cenderung menimbulkan efek samping, seperti : penglijatan kabur, mulut kering, sulit buang air kecil, kantuk, dan pertambahan berat badan. Obat ini juga bersifat mematikan dengan dosis yang berlebih.
Inhibitor monoamine oxidase (MAO), bekerja dengan cara memogokkan neurotransmitter. Obat jenis ini jarang digunakan karena dapat memicu episode hipertensi berat  dan kematian, jika penderita mengonsumsi makanan atau obat tertentu. 
Selective serotonine reuptake inhibitor (SSRI), bekerja dengan cara meningkatkan tingkat serotonin secara temporer.  Antidepresan jenis ini memiliki efek samping seperti disfungsi seksual , hasrat seksual yang menurun insomnia, dan masalah pencernaan.
Lithium merupakan salah satu jenis garam di alam. Lithium berfungsi  untuk mengatasi episode manik. Lithium banyak digunakan untuk penstabil suasana perasaan (mood stabilizing drug) dan menangani gangguan bipolar. Dalam beberapa kasus, penderita tidak mau mengonsumsi obat ini karena menikmati fase-fase euphoria tersebut.

b.      Terapi elektrokonvulsif dan simulasi magnetic transkrania (TMS)
Penanganan biologis untuk depresi besar dan kronis yang melibatkan pemberian impuls-impuls listrik melalui otak untuk memproduksi seizure (kejang-kejang). Efek samping yang muncul adalah hilangnya ingatan sementara. TMS bekerja dengan meletakkan gulungan magnet di atas kepala untuk membangkitkan denyut elektromagnetik yang dialokasikan dengan tepat. Efek samping berupa sakit kepala.

c.       Penanganan psikologis
Dua penanganan psikologis murni adalah pendekatan kognitif-behavioral oleh Aaron T. Beck dan psikoterapi interpersonal oleh Myrna Weissman dan kawan-kawan. 

·         Terapi  kognitif-behavioral
Klien diinstrusikan untuk monitor dan mencatat proses berpikir mereka terutama dalam situasi ketika mereka merasa depresi. Penangannya dengan cara mengganti pikiran-pikiran negatif dengan berbagai kelakuan dan keyakinan yang positif .

·         Psikoterapi interpersonal / interpersonal psyvhotherapy (IPT)
Individu dengan sedikit hubungan sosial berisiko dalam mengembangkan berbagai gangguan suasana perasaan ( Barnett dan Gotlib, 1988). IPT difokuskan pada penanganan masalah dalam hubungan yang sudah ada dan belajar membangun hubungan interpersonal penting yang baru. Tugas pertama dari seorang terapis adalah mengidentifikasikan dan mendefinisikan sebuah persoalan interpersonal. (Gillies, 2001; Weissman, 1995).
Perselisihan antar pihak memiliki 3 tahap :
-          Tahap negosiasi           :  dua pihak sadar adanya selisih paham, dan berusaha bernegosiasi ulang.
-          Tahap jalan buntu        : perselisihan menimbulkan kebencian tingkat rendah tanpa ada usaha untuk mengatasinya.
-          Tahap resolusi             : kedua pihak mengambil tindakan tertentu.

d.      Kombinasi
Penanganan kombinasi yaitu penanganan dengan obat dan terapi sekaligus. Keller (2000) menyatakan bahwa penanganan kombinasi ini lebih efektif untuk penyembuhan total. Obat-obatan bekerja lebih baik dan lebih cepat , sedangkan terapi memberi pengobatan  jangka panjang pada penderita untuk mencegah kekambuhan. Kombinasi ini disebut juga maintenance treatment yang bertujuan mencegah kekambuhan.

8.     Bunuh Diri
Bunuh diri merupakan peyebab kematian dengan tingkat yang sama tinggi  AIDS. Secara keseluruhan, bunuh diri ini paling banyak dilakukan oleh remaja dan juga pada lanjut usia. Remaja adalah masa yang rentan depresi. Pada lanjut usia, bunuh diri banyak terjadi umumnya karena tingginya insiden sakit medis dan semakin berkurangnya dukungan sosial (Conwel dkk, 2002).
Terlepas dari umur, laki-laki melakukan bunuh diri empat sampai lima kali lebih banyak melakukan bunuh diri daripada perempuan (American Psychiatric Association ,2003). Uniknya , di China, lebih banyak perempuan yang bunuh diri. Hal ini karena di china, terutama kalangan perempuan, bunuh diri adalah solusi yang masuk akal untuk berbagai solusi.  Meskipun laki-laki lebih banyak melakukan bunuh diri, namun  perempuan berusaha bunuh diri tiga kali lebih sering daripada pria (Berman dan Jobes, 1991).
Ada 3 indeks perilaku bunuh diri yang paling penting :
·         Completed suicide : tindakan bunuh diri hingga tewas.
·         Suicidal attemps  : usaha bunuh diri namun tidak tewas.
·         Suicidal ideations : pikiran serius untuk bunuh diri .

Yang paling berbahaya adalah pikiran bunuh diri dimana percobaan bunuh diri datangnya dari pikiran bunuh diri. Laki-laki dalam usaha bunuh diri cenderung mengunakan cara-cara kekerasan.
Ada beberapa penyebab terjadinya bunuh diri:
a.       Konsepsi zaman dulu
Sosiolog Emile Durkheim (1951) mengategorikan bunuh diri menjadi beberapa tipe :
·         Altruistic suicide : bunuh diri yang diformalkan
·         Egoistic suicide : bunuh diri akibat kurangnya dukungan social
·         Anomic suicide : bunuh diri akibat disrupsi nyata yang menyebabkan hilang arah dan kebingungan
·         Fatalistic suicide : bunuh diri akibat hilangnya control atas nasib sendiri.
Korban bunuh diri secara tidak sadar “menghukum” secara psikologis orang yang mungkin telah menyakitinya secara pribadi.

b.      Faktor sosial, psikologis dan biologis
Shneidman dan kawan-kawan menggunakan metode autopsi psikologis untuk mencari penyebab-penyebab bunuh diri yang memungkinkan. Autopsi psikologis adalah konstruksi ulang profil psikologis pasca kematian bunuuh diri dengan cara wawancara dengan orang yang sangat dekat dengan korban.
Brent dan kawan-kawan (2003) menyatakan bahwa risiko percobaan bunuh diri 6 kali lipat lebih tinggi jika salah satu anggota keluarga pernah bunuh diri. Jika korban merupakan saudara kandung, maka risikonya adalah 10 kali. Ini menunjukkan adanya kontribusi biologis.
Bunuh diri sering berhubungan dengan gangguan suasana perasaan dimana penderita depresi cenderung berpikiran untuk bunuh diri. Di kalangan remaja, perilaku bunuh diri merupakan pengekspresian depresi berat. Kejadian hidup yang stressful juga merupakan faktor penting penyebab bunuh diri. Contohnya kejadian-kejadian memalukan, kegagalan, penganiayaan fisik dan seksual, dan bencana alam.
Korban bunuh diri, umumnya meniru metode bunuh diri yang baru saja dilihatnya. Hal ini umumnya terjadi pada remaja (Gould ,1990).
Penanganan pada orang-orang yang berpikiran bunuh diri harus dengan konsultasi pada ahlinya. Para professional kesehatan mental pada dasarnya memiliki kemampuan untuk mengukur ada tidaknya pikiran bunuh diri pada pasien. Professional kesehatan mental disarankan untuk bertanya pada pasien tentang ada tidaknya pikiran bunuh diri. Bila diketahui adanya rencana bunuh diri, maka sudah berisiko tinggi. Jika si pasien telah melibatkan menyelesaikan seluruh urusan pribadi mereka, maka risiko semakin besar.
Penanganan untuk orang berisiko terdiri dari problem sloving, mengembangkan kompetensi sosial, mengatasi masalah kehidupan secara adaptif, dan lain-lain.


C.   Skizofrenia
1.     Sejarah Konsep Skizofrenia
Konsep skizofrenia pertama kali diformalasikan oleh dua psikiater Eropa, Emil Kraepelin dan Eugen Bleuer. Kraepelin pertama kali mengemukakan teorinya mengenai dementia praecox, istilah awal untuk skizofrenia, pada tahun 1898. Dia membedakan dua kelompok utama psikosis yang disebutnya endogenik, atau disebabkan secara internal: penyakit manik-depresif dan dementia praecox. Dementia praecox mencakup beberapa konsep diagnotis-demensia paranoid, katatonia, dan hebefrenia yang dianggap sebagai entitas tersendiri oleh para ahli klinis pada beberapa dekade terdahulu. Meskipun berbagai gangguan tersebut secara simtomatik berbeda, kraepelin yakin mereka memiliki kesamaan inti dan istilah dementia praecox mencerminkan apa yang diyakininya merupakan inti tersebut, yaitu terjadi pada usia awal (praecox) dan perjalanan yang memburuk yang ditandai oleh deteriosasi intelektual progresif dan perjalanan yang memburuk yang ditandai oleh deteriorasi intelektual progresif (demensia). Dimana demensia yang ini menurut istilah kraepelin merujuk pada “kelemahan mental” pada umumnya.
Eugun Bleuler mencerminkan upaya spesifik untuk mendefinisikan inti gangguan dan mengubah titik berat kraepelin pada usia terjadinya gangguan dan pada perjalanan penyakit dalam definisinya. Pendapat bleuler berbeda dengan kraepelin terkait dua poin utamanya, ia yakin bahwa gangguan tersebut tidak selalu terjadi pada usia dini, dan ia yakin bahwa gangguan tersebut tidak akan berkembang menjadi demensia tanpa dapat dihindari. Dengan demikian, sebutan dementia praecox tidak sesuai lagi, dan pada tahun 1908 Bleuler mengajukan istilahnya sendiri “skizofrenia”.

2.     Defenisi Skizofrenia
Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani schizein, yang artinya “membelah”, dan phren, yang artinya “akal pikiran”. Skizofrenia adalah gangguan yang ditandai dengan gangguan utama dalam pikiran, emosi, dan perilaku pikiran yang terganggu , dimana berbagai pemikiran tidak saling berhubungan secara logis,  dan persepsi dan perhatian yang keliru. Pasien skizofrenia menarik diri dari orang lain dan kenyataan, sering kali masuk kedalam kehidupan fantasi yang penuh delusi dan halusinasi.
Skizofrenia terjadi dengan frekuensi yang sangat mirip diseluruh dunia. Skizofrenia terjadi pada pria dan wanita dengan frekuensi yang sama. Meskipun kadang berawal pada masa kanak-kanak, gangguan ini biasanya muncul pada akhir masa remaja atau awal pada masa dewasa, agak lebih awal  pada kaum laki-laki dari pada kaum perempuan. Orang-orang yang menderita skizofrenia umumnya mengalami beberapa episode yang tidak terlalu parah, namun tetap mengganggu keberfungsian mereka. Para pasien skizofrenia dapat berbeda antara satu dengan yang lainnya dibandingkan pasien gangguan lain.

3.     Ciri-ciri skizofrenia
a.     Gangguan Delusi
Gangguan delusi adalah gejala gangguan psikotik penderita skizofrenia  yang ditandai gangguan pikiran, keyakinan kuat yang sebenarnya dari keyakinannya.

Ciri – ciri klinis dari gangguan delusi yaitu :
·        Keyakinan yang persisten dan berlawanan dengan kenyataan tetapi tidak disertai dengan keberadaan sebenarnya.
·        Terisolasi secara sosial dan bersikap curiga pada orang lain.

Bentuk – bentuk delusi yang berkaitan dengan skizofrenia yaitu :
·        Delusions of persecution adalah pasien skizofrenia yang mengalami gangguan psikotik ditandai adanya waham prasangka buruk terhadap dirinya atau pun orang lain yang tidak realitas. Merasa orang lain sangat dengki dengan dirinya.
·        Cotard’s syndrome (somatic) adalah penderita skizofrenia yang mengalami gangguan psikotik atau ketakuatan yang tidak real. Penderita memiliki waham bahwa kondisi fisiknya sakit atau di bagian – bagian tubuh tertentu rusak. Perasaan bagian tubuh yang terganggu atau sakit secara medis tidak ditemukan.
·        Cogras syndrome yaitu penderita skizofrenia yang mengalami gangguan psikotik ditandai adanya waham pengganti yang tidak real terhadap dirinya. Merasa curiga bahwa selain dirinya ada yang sangat sama dengan dirinya.
·        Erotomatic adalah keyakinan penderita skizofrenia mencari membututi orang – orang   yang dicintainya. Penderita merasa dirinya dicintai.
·        Jealous yaitu keyakinan penderita skizofrenia bahwa pasangan seksualnya melakukan selingkuh atau tidak setia pada dirinya.

b.      Halusinasi
Halusinasi adalah gejala gangguan psikotik penderita skizofrenia yang ditandai gangguan persepsi pada berbagai hal yang dianggap dapat dilihat, didengar ataupun adanya perasaan dihina meskipun sebenarnya tidak realitas.

Adapun ciri – ciri klinis dari penderita halusinasi yaitu:
·      Tidak memiliki insight yang jelas dan kesalahan dalam persepsi.
·      Adanya associative spilitting dan cognitive splitting.

Bentuk – bentuk halusinasi yang berkaitan dengan penderita skizofrenia yaitu:
·         Halusinasi pendengaran (audiotory hallucination) adalah penderita skizofrenia yang mengalami gangguan psikotik melalui adanya pendengaran terhadap objek suara–suara tertentu. Keadaan ini sering terjadi ketika penderita skizofrenia tidak melakukan aktivitas.
·         Halusinasi pada bagian otak (brain imaging) yaitu gangguan daerah otak terutama bagian broca’s area adalah daerah pada bagian otak yang selalu memberikan halusinasi pada penderita skizofrenia.

c.       Disorganisai
Disorganisasi dalah gangguan psikotik dari penderita skizofrenia yang ditandai dengan ketidak mampuan dalam mengatur arah bicara, reaksi emosional dan perilaku motoriknya.
Bentuk – bentuk dari gangguan pikiran disorganisasi yaitu:
·         Tangentialty adalah ketidakmampuan dari penderita skizofrenia untuk mengikuti arah pembicaraan. Pembicaraan penderita ini selalu menyimpang jauh dari setiap arah pembicaraannya.
·         Loose association adalah penderita skizofrenia yang mengalami gangguan dalam topik pembicaraaan. Topik dan arah pembicaraan  penderita skizofrenia ini sama sekali tidak berkaitan dengan apa yang dibicarakan.
·         Derailment adalah pola pembicaraan penderita skizofrenia sama sekali keluar dari alur pembicaraan.

d.      Pendataran Afek
Pendataran afek adalah gejala gangguan psikotik dari penderita skizofrenia yang ditandai dengan ketidak mampuannya dalam mengatur antara reaksi emosional dan pola perilaku atau afektif yang tidak sesuai dengan perilaku. Misalnya, reaksi emosi yang tidak sesuai dengan cara menimbun barang yang tidak lazim.
Adapun ciri–ciri klinis pendataran afek yaitu:
·         Tidak adanya reaksi emosional dalam komunikasi.
·         Selalu menatap kosong dalam pandangannya.
·         Berbicara datar tanpa ada nada pembicaraan.

e.          Alogia
Alogia adalah gejala gangguan psikotik dari penderita skizofrenia yang ditandai dengan adanya disefisiensi dalam jumlah atau isi pembicaraan.
Adapun ciri – ciri klinis dari  penderita alogia yaitu:
·         Jawaban yang diberikan penderia singkat atau pendek.
·         Cenderung kurang tertarik untuk berbicara.
·         Lebih banyak berdiam diri.
·         Adanya gangguan pikiran negatif dan berkomunikasi.
·         Kesulitan dalam memformulasikan kata.
·         Kalimat (kata – kata) selalu tidak sesuai dengan formulasi pikiran.

f.          Avolisi
Avolisi yaitu gejala gangguan psikotik dari penderita skizofrenia yang ditandai ketidakmampuan memulai ataupun mempertahankan kegiatan – kegiatan penting.
Ciri–ciri klinis gangguan avolisi yaitu:
·            Tidak menunjukkan minat pada aktivitas atau fungsi kehidupannya sehari–hari dan tidak berminat merawat kesehatan tubuhnya.
·            Cenderung menjadi pemalas dan kotor.

g.         Anhedonia
Anhedonia yaitu gejala gangguan psikotik dari penderita skizofrenia yang ditandai dengan ketidakadaan perasaan senang, sikap tidak peduli terhadap kegiatan sehari – hari, cendrung tidak suka makan dan ketidak pedulian terhadap hubungan interaksi sosial.

4.      Faktor-faktor Penyebab Skizofrenia

Meskipun penyebab spesifik skizofrenia tidak diketahui, kekacauan ini jelas mempunyai dasar biologi. Namun dari sisi psikologis pun mempengaruhi terjadinya penyakit ini pada diri seseorang. Berikut ini faktor-faktor penyebab seseorang mengidap skizofrenia :

a.       Pengaruh Genetik
     Perkiraan heritability dari skizofrenia cenderung bervariasi karena kesulitan memisahkan pengaruh genetika dan lingkungan hidup. Walaupun telah diusulkan studi kembar heritability tingkat tinggi. Kemungkinan bahwa skizofrenia merupakan kondisi kompleks warisan, dengan beberapa gen mungkin berinteraksi untuk menghasilkan resiko skizofrenia terpisah atau komponen yang dapat terjadi mengarah diagnosa. Gen ini akan muncul untuk nonspesifik dimana mereka dapat menimbulkan resiko gila lainnya. Seperti kekacauan gangguan bipolar. Duplikasi dari urutan DNA dalam gen (dikenal sebagai menyalin nomor varian) memungkinkan terjadi peningkatan resiko skizofrenia.

     Sekelompok peneliti internasional mengidentifikasi tiga variasi baik dari DNA yang diperkirakan meningkatkan penyakit skizofrenia, serta beberapa gen lain yang mempunyai kaitan kuat dengan penyakit ini. David St. Clair seorang psikiater di University of Aberdeen di Scotlandia mengatakan, penemuan ini seperti awal dari jaman baru. Begitu peneliti memahami mekanisme kerja dari proses mutasi, maka obat dan pendekatan baru dapat dikembangkan.

     Dalam penelitian, peneliti menganalisa gen dari 6.000 – 10.000 orang dari seluruh dunia yang separuhnya menderita skizofrenia. Mereka menemukan satu mutasi pada kromosom 1, dua pada kromosom 15 dan menetapkan suatu jenis gen yang terkait dengan kondisi skizofrenia pada kromosom 22. Perubahan ini dapat meningkatkan resiko berkembangnya skizofrenia hingga 15 kali lipat.

     Varian-varian gen yang ditemukan amat berperan dibandingkan mutasi luar biasa lainnya. Mutasi ini terjadi pada sekitar 1 dari 10.000 orang dibanding 1 dari 10 juta. Peneliti tengah mencari apakah faktor lingkungan ikut berperan dalam mutasi ini. Langkah selanjutnya yang akan dilakukan peneliti adalah menentukan bagaimana penghapusan gen ini mempengaruhi fungsi otak.
b.      Usia
     Skizofrenia umumnya terjadi pada akhir masa remaja dan awal masa dewasa. Menurut data yang ditunjukkan pusat data skizofrenia AS, tiga perempat penderita skizofrenia berusia 16 – 25 tahun. Pada kelompok usia 16 – 25 tahun, skizofrenia mempengaruhi lebih banyak laki-laki dibanding perempuan, sedangkan pada kelompok usia 26 – 32 tahun penyakit ini lebih banyak menyerang perempuan. Semakin muda saat ditemukan semakin buruk.

c.       Sosial
     Tinggal di perkotaan secara konsisten telah menjadikan faktor resiko mengidap skizofrenia. Keadaan sosial merugikan menjadi faktor resiko, termasuk kemiskinan dan migrasi terkait dengan kesulitan bersosialisasi, diskriminasi ras, pengaruh keluarga atau kondisi rumah miskin. Pengalaman yang menjadi trauma juga salah satu faktor resiko diagnosa skizofrenia dalam kehidupan.

d.      Obat
     Sekitar setengah dari semua pasien skizofrenia akibat penggunaan narkoba atau alkohol, yang jelas hubungan antara penggunaan narkoba dan skizofrenia sulit untuk dibuktikan. Dengan adanya bukti kuat berdasarkan beberapa studi menunjukkan bahwa cannabis sativa berperan dalam perkembangan skizofrenia. Namun, tak ada bukti cukup untuk alkohol atau narkoba lain. Di sisi lain, penderita skizofrenia diketahui menggunakan obat untuk mengatasi depresi, gelisah dan kesendirian akibat dari kekacauan mereka.

e.       Psikologis
     Sejumlah mekanisme psikologis telah mempengaruhi orang menderita skizofrenia. Ketika dibawah tekanan atau situasi membingungkan, termasuk perhatian yang berlebihan dapat memunculkan penyakit ini. Banyak individu penderita skizofrenia emosinya sangat responsif, itu dapat menyebabkan kerentanan terhadap gejala kekacauan.  

5.     Terapi skizofrenia
Dalam skizofrenia terdapat berbagai macam terapi. Dimana suatu terapi dilakukan tergantung pada tahap penyakit pasien. Berikut cara-cara penanganan skizofrenia.

a.       Penanganan Biologis (Terapi Obat)
Perkembangan terpenting dalam terapi untuk  skizofrenia adalah penemuan obat-obatan pada tahun 1950-an yang secara kolektif disebut obat-obatan antipsikotik, yang juga disebut neuroleptik karena menimbulkan efektif samping yang sama dengan simtom-simtom penyakit neurologis.
Obat-obatan  Antipsikotik Tradisional.Salah satu obat antipsikotik yang paling sering diresepkan, fenothiazin diciptakan pertama kali oleh ahli kimia berkebangsaan Prancis Laborit memelopori penggunaan antihistamin untuk mengurangi syok karena pembedahaan. Ia mengamati bahwa obat ini membuat pasien agak mengantuk dan ketakutannya menghadapi operasi berkurang.  Setelah itu seorang ahli kimia Perancis, Charpentier menyiapkan suatu derivat baru fenothiazin, yang disebutnya khlorpromazin. Obat ini terbukti sangat efektif  untuk menenangkan pasien skizofrenia.

b.      Penanganan  Psikologis
Gejala-gejala gangguan schizophrenia yang kronik telah membuat situasi pengobatan di dalam maupun di luar Rumah Sakit Jiwa (RSJ) menjadi monoton dan menjemukan. Para psikiater dan petugas kesehatan terkondisi untuk menangani schizophrenia dengan obat saja. Psikoterapi suportif, terapi kelompok, maupun terapi perilaku hampir tidak pernah dilakukan, karena dianggap tidak akan banyak manfaatnya. Wawancara tatap muka yang rutin dengan pasien jarang dilakukan.
Psikoterapi adalah perawatan dan penyembuhan gangguan jiwa dengan cara psikologis. beberapa pakar psikoterapi beranggapan bahwa perubahan perilaku tergantung pada pemahaman individu atas motif dan konflik yang tidak disadari.

·        Terapi Psikoanalisa
Terapi Psikoanalisa adalah metode terapi berdasarkan konsep Freud. Tujuan psikoanalisis adalah menyadarkan individu akan konflik yang tidak disadarinya dan mekanisme pertahanan yang digunakannya untuk mengendalikan kecemasannya . Hal yang paling penting pada terapi ini adalah untuk mengatasi hal-hal yang direpress oleh penderita. Metode terapi ini dilakukan pada saat penderita schizophrenia sedang tidak "kambuh". Macam terapi psikoanalisa yang dapat dilakukan, adalah Asosiasi Bebas. Pada teknik terapi ini, penderita didorong untuk membebaskan pikiran dan perasaan dan mengucapkan apa saja yang ada dalam pikirannya tanpa penyuntingan atau penyensoran.
Pada teknik ini, penderita disupport untuk bisa berada dalam kondisi relaks baik fisik maupun mental dengan cara tidur di sofa. Ketika penderita dinyatakan sudah berada dalam keadaan relaks, maka pasien harus mengungkapkan hal yang dipikirkan pada saat itu secara verbal. Pada saat penderita tidur di sofa dan disuruh menyebutkan segala macam pikiran dan perasaan yang ada di benaknya dan penderita mengalami blocking, maka hal itu merupakan manifestasi dari keadaan over-repressi. Menurut Freud, apabila terjadi blocking dalam proses asosiasi bebas, maka penderita akan melakukan analisa. Hasil dari analisanya dapat menimbulkan insight pada penderita. Analisa pada waktu terjadi blocking bertujuan agar penderita mampu menempatkan konfliknya lebih proporsional, sehingga penderita mengalami suatu proses penurunan ketegangan dan penderita lebih toleran terhadap konflik yang dialaminya.

·        Terapi Perilaku
-          Social Learning Program
Social learning program menolong penderita schizophrenia untuk mempelajari perilaku-perilaku yang sesuai. Program ini menggunakan token economy, yakni suatu cara untuk menguatkan perilaku dengan memberikan tanda tertentu (token) bila penderita berhasil melakukan suatu perilaku tertentu. Tanda tersebut dapat ditukar dengan hadiah (reward), seperti makanan atau hak-hak tertentu. Program lainnya adalah millieu program atau therapeutic community. Dalam program ini, penderita dibagi dalam kelompok-kelompok kecil yang mempunyai tanggung jawab untuk tugas-tugas tertentu. Mereka dianjurkan meluangkan waktu untuk bersama-sama dan saling membantu dalam penyesuaian perilaku serta membicarakan masalah-masalah bersama dengan pendamping. Terapi ini berusaha memasukkan penderita schizophrenia dalam proses perkembangan untuk mempersiapkan mereka dalam peran sosial yang bertanggung jawab dengan melibatkan seluruh penderitan dan staf pembimbing.

-          Social skills training
Terapi ini melatih penderita mengenai keterampilan atau keahlian sosial, seperti kemampuan percakapan, yang dapat membantu dalam beradaptasi dengan masyarakat (Rathus, et al., 1991; Davisoan, et al., 1994; Sue, et al., 1986). Social Skills Training menggunakan latihan bermain sandiwara. Para penderita diberi tugas untuk bermain peran dalam situasi-situasi tertentu agar mereka dapat menerapkannya dalam situasi yang sebenarnya. Bentuk terapi seperti ini sering digunakan dalam panti-panti rehabilitasi psikososial untuk membantu penderita agar bisa kembali berperan dalam masyarakat. Mereka dibantu dan didukung untuk melaksanakan tugas-tugas harian seperti memasak, berbelanja, ataupun untuk berkomunikasi, bersahabat, dan sebagainya. Meskipun terapi ini cukup berhasil, namun tetap ada persoalan bagaimana mempertahankan perilaku bila suatu program telah selesai, dan bagaimana dengan situasi-situasi yang tidak diajarkan secara langsung.

·        Terapi Humanistik

-          Terapi kelompok
Pada terapi ini, beberapa klien berkumpul dan saling berkomunikasi dan terapist berperan sebagai fasilitator dan sebagai pemberi arah di dalamnya. Di antara peserta terapi tersebut saling memberikan feedback tentang pikiran dan perasaan yang dialami oleh mereka. Klien dihadapkan pada setting sosial yang mengajaknya untuk berkomunikasi, sehingga terapi ini dapat memperkaya pengalaman mereka dalam kemampuan berkomunikasi. Di rumah sakit jiwa, terapi ini sering dilakukan. Melalui terapi kelompok ini iklim interpersonal relationship yang konkrit akan tercipta, sehingga klien selalu diajak untuk berpikir secara realistis dan menilai pikiran dan perasaannya yang tidak realistis.

-          Terapi Keluarga
Terapi keluarga ini merupakan suatu bentuk khusus dari terapi kelompok. Kelompoknya terdiri atas suami istri atau orang tua serta anaknya yang bertemu dengan satu atau dua terapist. Terapi ini digunakan untuk penderita yang telah keluar dari rumah sakit jiwa dan tinggal bersama keluarganya. Ungkapan-ungkapan emosi dalam keluarga yang bisa mengakibatkan penyakit penderita kambuh kembali diusahakan kembali. Keluarga diberi informasi tentang cara-cara untuk mengekspresikan perasaan-perasaan, baik yang positif maupun yang negatif secara konstruktif dan jelas, dan untuk memecahkan setiap persoalan secara bersama-sama. Keluarga diberi pengetahuan tentang keadaan penderita dan cara-cara untuk menghadapinya. Keluarga juga diberi penjelasan tentang cara untuk mendampingi, mengajari, dan melatih penderita dengan sikap penuh penghargaan. Perlakuan-perlakuan dan pengungkapan emosi anggota keluarga diatur dan disusun sedemikian rupa serta dievaluasi.

6.     Contoh Kasus
Mendadak segala sesuatu tidak berjalan sebagaimana mestinya. Saya mulai kehilangan kendali atas hidup saya dan terutama diri saya. Saya tidak bisa konsentrasi pada tugas-tugas kuliah, tidak bisa tidur, dan ketika tidur, saya bermimpi tantang kematian. Saya takut masuk ruang kuliah , membayangkan bahwa orang-orang membicarakan saya, dan diatas semua itu saya mendengarkan suara-suara. Saya menelepon ibu di pittsburgh dan meminta saran. Ia menyuruh saya pindah dari kampus dan tinggal bersama kakak saya d apartemen.
Setelah tinggal bersama kakak saya, keadaan semakin buruk. Saya takut pergi keluar rumah dan bila saya melihat keluar jendela, semua orang diluar seolah-olah berteriak, “Bunuh dia, bunuh dia”. Kakak saya memaksa saya untuk pergi kekampus. Saya pergi keluar rumah  sampai saya tahu ia telah berangkat ketempat kerjanya, setelah itu saya kembali kerumah. Keadaan terus memburuk. Saya membayangkan bau badan saya tidak enak dan kadang  mandi hingga 6 kali sehari. Suatu hari saya pergi ketoko grosir dan dan saya membayangkan orang-orang ditoko tersebut berkata , “carilah penyelamatan”. Keadaan semakin memburuk, saya tidak bisa mengingat apapun. Saya mempunyai buku catatan yang berisi segala sesuatu yang harus saya lakukan pada satu hari tertentu. Saya tidak bisa mengingat tugas-tugas kuliah, dan saya belajar dari jam 6 sore hingga jam 4 pagi, namun tidak berani berangkat kekampus esok harinya. Saya mencoba menceritakan kepada kakak saya apa yang saya alami, namun ia tidak mengerti. Ia menyarankan saya menemui psikiater, namun saya takut keluar rumah untuk menemui psikiater.
Suatu hari saya memutuskan bahwa saya tidak sanggup menanggung trauma ini lebih lama, maka saya meminum 35 butir pil Darvon. Pada saat yang sama, sebuah suara didalam diri saya berkata, “untuk apa kamu melakukannya? Sekarang kamu tidak akan masuk surga”. Detik itu juga saya sadar bahwa saya tidak sungguh-sungguh ingin mati. Saya ingin hidup, tetapi saya takut. Saya mengambil telepon dan menelpon psikiater yang direkomendasikan oleh kakak saya. Saya katakan bahwa saya telah meminum pil Darvon dalam dosis yang berlebihan dan saya takut. Ia menyuruh saya naik taksi dan pergi kerumah sakit. Ketika saya tiba dirumah skit, saya mulai muntah, tetapi saya tidak pingsan. Karena satu dan lain hal, saya tidak bisa menerima kenyataannya bahwa saya benar-benar akan menemui seorang psikiater. Saya menganggap diri saya gila. Akibatnya, saya tidak langsung menemui psikiater. Sebaliknya saya meninggalkan rumah sakit dan akhirnya bertemu dengan kakak saya dalam perjalan pulang kerumah. Ia menyuruh saya kembali saat itu juga karena saya jelas harus menemui psikiater. Kami kemudian menelpon ibu dan ibu mengatakan ia akan datang esok hari.

D.   Gangguan Kepribadian (Personality Disoders)
Kepribadian merupakan gabungan antara emosi dan perilaku individu yang menjadikan individu tersebut memiliki karakteristik tertentu dalam menghadapi kehidupan sehari-hari. Individu dikatakan mengalami gangguan kepribadian ketika ciri kepribadian individu memperlihatkan pola perilaku yang tidak fleksibel dan maladaptif. Ciri-ciri ini terjadi dalam jangka waktu yang lama dan signifikan.Dan biasanya sudah mulai terlihat sejak individu berusia kanak-kanak.
Jika dibandingkan dengan individu yang mengalami gangguan kecemasan, individu yang mengalami gangguan kepribadian lebih tidak menyadari gangguan yang terjadi pada kepribadiannya.Sehingga individu ini menolak untuk diberi terapi untuk sembuh, karena individu yang mengalami gangguan kepribadian merasa bahwa kepribadiannya tidak bermasalah.
Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disoders (DSM-IV) gangguan kepribadian dikelompokan menjadi 3, yaitu:
1.      Kluster A (Kluster Ganjil)
Individu dalam kluster ganjil ini, memiliki pola perilaku yang sama, yaitu eksentrik dan aneh. Kluster A terdiri dari gangguan kepribadian paranoid, gangguan kepribadian skizoid, dan gangguan kepribadian skizotipal.
a.       Gangguan Kepribadian Paranoid
Individu yang mengalami gangguan kepribadian paranoid memperlihatkan adanya rasa ketidakpercayaan dan kecurigaan yang berlebihan pada orang-orang di sekitarnya.Individu dengan gangguan ini menampakkan sikap bermusuhan dengan orang-orang di sekitarnya, karena terlalu mencurigai orang-orang yang berada di sekitarnya dengan tidak beralasan yang jelas. Bahkan sering sekali mereka menganggap peristiwa yang sama sekali tidak berhubungan dengan dirinya merupakan serangan dari orang-orang di sekitarnya kepada dirinya. Jadwal penerbangan yang tertunda misalnya, individu dengan gangguan ini akan menganggap bahwa peristiwa ini merupakan upayah yang disengaja oleh orang-orang di sekitarnya untuk mengganggunya. Gangguan ini biasanya mulai muncul pada usia dewasa awal.
Berikut ini merupakan rangkuman kriteria gangguan kepribadian paranoid berdasarkan DSM-IV-TR.
·         Ketidakpercayaan dan kecurigaan yang pervasif (meluas/merembet) terhadap orang lain.
·         Curiga bahwa orang lain sedang mengeksploitasi, mencelakai, atau menipunya.
·         Preokupasi (terfokus pada satu hal dengan pikirannya sendiri/berfantasi sendiri) dengan keragu-raguan yang tidak beralasan terhadap loyalitas teman-teman sejawatnya.
·         Kecendrungan untuk membaca adanya maksud merendahkan atau mengancam yang tersembunyi dibalik ucapan orang lain.
·         Menyimpan dendam atas penghinaan, cedera, atau kebohongan yang pernah diterimanya.
·         Mempersepsi adanya serangan terhadap dirinya dan reputasinya bagi orang lain sama sekali tidak ada.
·         Kecurigaan tanpa alasan yang berulang kali muncul.

Contoh kasus paranoid:
Seorang pensiunan pengusaha berusia 85 tahun diwawancarai seorang pekerja sosial untul menetukan kebutuhan perawatan kesehatan bagi dirinya dan istrinya yang sakit dan lemah.Pria ini tidak memiliki sejarah penanganan gangguan mental.Ia terlihat sehat dan waspada secara mental. Ia dan istrinya telah menikah selama 60 tahun, dan tampak bahwa istrinya merupakan satu-satunya orang yang benar-benar ia percaya. Dia selalu curiga pada orang lain. Ia tidak akan mengungkapkan informasi pribadi pada siapapun kecuali pada istrinya, yakin bahwa orang lain akan mengambil keuntungan darinya. Ia menolak tawaran bantuan dari kenalannya karena ia curiga dengan mereka. Saat menerima telepon ia akan menolak menyebutkan namanya sampai ia tahu maksud si penelepon. Ia selalu melibatkan dirinya dalam “pekerjaan yang berguna” untuk mengisi waktunya, bahkan selama 20tahun masa pensiunnya. Ia meluangkan waktu yang cukup banyak untuk memonitor investasinya dan pernah bertengkar dengan pialangnya saat terjadi kesalahan dalam rekening bulanannya, yang membuatnya curiga bahwa pialangnya tersebut berusaha menutupi transaksi yang curang. (Diadaptasi dari Spitzer dkk,1994, hal. 211-213).

b.      Gangguan Kepribadian Skizoid
Individu dengan gangguan kepribadian skizoid memperlihatkan adanya pola perilaku menarik diri dari hubungan social. Individu ini cenderung introvert, akibatnya mereka terlihat sangat dingin. Mereka tidak terpengaruh dengan kritik atau pujian dan mereka tidak menyukai kedekatan dengan orang lain. Walaupun indivdu ini cendrung introvert dan memiliki fantasi atau impian-impian sendiri, tapi mereka tetap mampu untuk membedakan antara realitas dan fantasi. Bahkan ada kalanya individu dengan gangguan ini sangat kreatif dan ide-ide yang terbentuk merupakan ide yang logis. Gangguan ini biasanya muncul pada masa kanak-kanak awal, berlangsung dalam jangka waktu lama, tapi belum tentu seumur hidup.

Berikut merupakan kriteria gangguan kepribadian skizoid berdasarkan DSM-IV-TR:
·   Pola pelepasan diri dari hubungan social dan ragam ekspresi emosi yang terbatas, yang dimulai pada masa dewasa awal.
·   Kurangnya keinginan untuk menikmati hubungan dekat termasuk hubungan keluarga.
·   Hampir selalu memilih aktifitas-aktifitas soliter (yang dilakukan sendiri).
·   Kalaupun ada minat untuk mendapatkan pengalaman seksual dengan orang lain, minat itu hanya sedikit sekali.
·   Kurang memiliki sahabat atau teman karib di luar dari keluarga kandungnya.
·   Tampak tidak peduli dengan kritik atau pujian dari orang lain.
·   Menunjukkan sikap dingin secara emosional.

Contoh kasus skizoid:
John seorang pensiunan berusia 50tahun, mencari penanganan selama beberapa minggu setelah anjingnya tertabrak dan mati.John merasa sedih dan lelah.Ia menjadi sulit berkonssentrasi dan sulit tidur. Ia tinggal sendiri dan lebih senang sendirian, membatasi kontak dengan orang lain dan hanya mengatakan “halo” dan “apa kabar?” sambil terus berlalu. Ia merasa percakapan social hanya membuang-buang waktu dan merasa canggung bila ada prang lain yang mencoba membina persahabatan dengannya. Meski ia hobi membaca surat kabar dan tetap mengikuti perkembangan dari peristiwa terkini, ia tidak memiliki minat yang nyata terhadap manusia. Ia bekerja sebagai penjaga keamanan dan digambarkan rekan kerjanya sebagai “penyendiri” dan “ikan yang dingin”. Satu-satunya hubungan yang ia miliki adalah dengan anjingnya, kerena ia merasa dapat berbagi perasaan yang lebih sensitif dan lebih hangat daripada ia berbagi dengan orang lain. Saat natal ia akan bertukar kado dengan anjingnya, membeli hadiah untuk anjingnya dan membungkus sebotol scoth untuk dirinya sendiri sebagai hadiah dari binatang tersebut. Satu-satunya peristiwa yang membuatnya sedih adalah saat ia kehilangan anjingnya. Sebaliknya, kehilangan orang tua nya tidak mampu membangkitkan suatu respon emosional.Ia merasa dirinya berbeda dari orang lain dan bingung dengan adanya emosionalitas yang ia lihat pada orang lain.

c.       Gangguan Kepribadian Skizotipal
Individu dengan gangguan kepribadian skizopital akan memperlihatkan pola perilaku yang ganjil. Cara mereka berhubungan dengan orang lain, cara berpikir, bahkan cara berpakaian mereka. Mereka memiliki ide-ide dan keyakinan-keyakinan yang ganjil. Ada kalanya mereka berfantasi dan berhubungan dengan ketakutan dan  fantasi mereka merupakan fantasi yang biasanya hanya muncul pada masa kanak-kanak.
Berikut merupakan kriteria skizotipal berdasarkan DSM-IV-TR.
·   Pola pervasif dari defisit (kekurangan) social dan interpersonal yang ditandai dengan perasaan tidak nyaman akut dengan hubungan dekat, distorsi kognitif (perseptual), dan perilaku yang eksentrik yang mulai muncul pada masa dewasa awal.
·   Interpretasi yang tidak tepat bahwa insiden-insiden kausal dan kejadian-kejadian eksternal memiliki makna tertentu atau tidak lazim yang spesifik bagi orang tertentu.
·   Keyakinan yang ganjil atau magical thinking yang mempengaruhi perilakunya dan tidak konsisten dengan norma-norma kultural.
·   Pengalaman perseptual yang tidak lazim.
·   Pemikiran dan pembicaraan yang ganjil
·   Curiga (paranoid)
·   Afek (perubahan perasaan karena tanggapan dalam kesadaran individu seperti marah, dsb) yang tidak pas atau terbatas.
·   Kurang memiliki sahabat atau teman karib di luar dari keluarga kandungnya.
·   Kecemasan sosial eksesif yang lebih berhubungan dengan ketakutan paranoid daripada dengan penilaian negative tentang dirinya sendiri.

Contoh kasus skizotipal:
Jonathan, meklanik mobil berusia 27tahun. Memiliki sedikit teman dan lebih memilih membaca novel fiksi ilmiah daripada bersosialisasi dengan orang lain. Ia jarang bergabung dan bercakap-cakap dengan orang lain. Suatu saat, ia tampak seperti hanyut dalam pikirannya sendiri, dan rekan kerjanya harus bersiul untuk mendapatkan perhatiannya saat ia sedang mengerjakan sebuah mobil. Ia sering menunjukkan ekspresi ganjil diwajahnya. Mungkin ciri perilaku yang paling tidak umum adalah ia melaporkan pengalaman yang dating sewaktu-waktu dan perasaan bahwa almarhum ibunya berdiri di dekatnya. Ilusi ini menenangkan baginya, dan ia menantikan terjadi peristiwa itu. Ia menyadari hal itu tidak nyata. Ia tidak pernah mencoba menyentuh roh tersebut, mengetahui bahwa roh itui akan menghilang begitu ia mendekat.

2.      Kluster B (Kluster Dramatik)
Individu dalam kluster ini memiliki pola perilaku yang dramatis (berlebih-lebihan), emosional, dan aneh.Gangguan kepribadian antisosial, gangguan kepribadian borderline, gangguan kepribadian histrionik, dan gangguan kepribadian narsistik merupakan jenis gangguan kepribadian yang terdapat di dalam kluster ini.

a.       Gangguan Kepribadian Antisosial
Gangguan kepribadian antiosial memperlihatkan individu yang bertingkah laku kriminal, tapi tidak sama dengan melakukan kriminalitas. Individu ini bertingkah laku kriminal karena ketidakmampuannya untuk mematuhi norma-norma sosial yang ada. Individu ini sering memperdaya orang lain seperti berbohong. Individu ini juga sering melakukan pelanggaran hak-hak orang lain, seperti mencuri, dsb.
Individu dengan gangguan kepribadian antisosial ini biasanya telah menunjukkan karakteristik terjadinya gangguan ini pada usia 15 tahun dan puncak ekstrimnya pada usia 18 tahun, namun kecendrungan antisosial ini akan menurun seiring bertambahnya usia individu.
Berikut merupakan kriteria gangguan kepribadian antisosial berdasarkan DSM-IV-TR.
·         Berumur paling rendah 18 tahun dan telah menunjukkan sikap tidak peduli dengan norma-norma sosial dan pelanggaran hak-hak orang lain sejak usia 15 tahun.
·         Tidak mematuhi norma-norma sosial, terbukti dengan tindakan-tindakan melanggar hukum yang dilakukannya.
·         Suka memperdaya orang lain, termasuk berbohong, atau menipu orang lain untuk memperoleh keuntungan dan kesenangan.
·         Impulsivitas (tidak mampu membuat rencana ke depan)
·         Iribilitas atau agresivitas seperti ditunjukkan dengan seringnya berkelahi atau melakukan penyerangan.
·         Tidak peduli dengan keselamatan orang lain.
·         Secara konsisten tidak bertanggung jawab dalam pekerjaan atau dalam membayar tagihan.
·         Tidak menyesal karena telah menyakiti orang lain.

Contoh kasus antisocial:
Seorang laki-laki berusia 19 tahun dan sedang menjalani rehabilitasi di tempat ketergantungan obat-obatan yang terlarang  untuk yang kesekian kalinya. Berdasarkan penuturan ibunya, diketahui bahwa sejak SD anaknya sudah sering melawan nasehat orangtua dan gurunya. Dia pun sering moebolos dari sekolah,walaumpun pretasi akademiknya memadai guru wali kelasnya sering memanggil orangtua dan mengeluhkan tenang prilaku sang anak. Sejak kelas 5 SD sudah memulai merokok dan dilanjutkan menghisap ganja semasa awal SMP, hingga akhirnya kelas 2 SMP mulai menggunakan putauw hingga sekarang.Penggunaan obat-obatan terlarang ini kadangkala disertai dengan konsumsi alcohol. Sang anak akhirnya putus sekolah di kelas 1 SMA dan lebih memilih kegiatan bermain band bersama teman-temannya. Tidak ada satu orang pun yan behasi mengajaknya kembali ke sekolah.Hingga saat ini dia masih terus mendapatkan biaya dari kedua orang tuanya.
     
b.      Gangguan Kepribadian Borderline
Gangguan kepribadian borderline merupakan gangguan yang terjadi pada individu yang menampakkan mood yang selalu berubah, tingkah lakunya tidak dapat diduga, memiliki kencendrungan untuk menyiksa atau menyakiti diri sendiri. Individu ini merasa bergantung pada orang lain, tetapi juga merasa bermusuhan dengan orang lain yang sama.

Berikut merupakan kriteria gangguan kepribadian borderline berdasarkan DSM-IV-TR.
·         Pola pervasif dari kelabilan dalam hubungan antar individu, citra diri, afek, dan impulsitivitas yang mulai muncul pada masa dewasa awal.
·         Usaha mati-matian untuk menghindari tindakan pengabaian  baik nyata maupun imajinasi.
·         Pola hubungan antar individu yang labil dan intens yang ditandai dengan idealisasi ekstrem dan devaluasi ekstrem yang silih berganti.
·         Citra diri atau perasaan tentang diri sendiri yang labil.
·         Membahayakan diri sendiri.
·         Perilaku yang mengarah pad bunuh diri atau mutilasi diri.
·         Perasaan hampa yang kronis.
·         Sulit mengontrol kemarahan.
·         Ide paranoid sementara ketika stres.

Contoh kasus borderline:
Saya telah mengenal Claire selama lebih dari 25 tahun dan bersama-sama mengalami masa-masa yang menyenangkan, namun lebih banyak masa yang buruk ketika hidupnya sangat tidak menentu.Claire adalah seseorang yang mengalami gangguan borderline. Saya dan Claire biasanya berangkat bersama-sama sejak SMA, suatu saat saya menemukan bahwa rambutnya dipotong sangat pendek  dan tidak rapi, dan ketika saya menanyakan penyebabnya, dia menjawab bahwa semuanya berjalan dengan buruk dan kegiatan memotong rambut itu dapat menyenangkan dirinya.kemudian saya juga mengetahui bahwa sarung tangan panjang yang sering dikenakan Claire, ternyata untuk menutupi luka-luka sayatan yang  buat Claire pada lengannya. Claire menjadi teman pertama saya yang meroko dan menggunakan obat-obatan terlarang, teman pertama saya yang orang tuanya bercerai dan tidak lagi mempedulikan dirinya.Ayahnya seorang alkoholik yang sering memukuli dirinya dan ibunya. Claire memiliki prestasi akademik dan self-image  yang rendah. ia seringkali mengatankan dirinya bodoh dan buruk yang saat ini saya ketahui bahwa kedua hal itu tidak benar.selama saya mengenal dia, secara bekala dia “meninggalkan kota” tanpa sebab yang jelas. Saya mengetahui beberapa tahun kemudian bawa itu hanya alasan apabila dia hars dirawat di rumah sakit jiwa karena dia mengalami depresi dan ingin bunuh diri.Saya memang pernah mendengar Claire mengancam ingin bunuh diri, namun saat itu saya tidak mengetahui seberapa serius ancaman tersebut. Pada masa kuliah, Claire semakin tidak mudah  tebak. Pada suatu waktu dia bisa sangat marah pada kami dan mengatakan bahwa kami akn meninggalkannya dan da kami berjalan cepat agar tidak tampak bersama dirinya. Di waktu yang lain, dia tampak sangat putus asa dan ingin bersama-sama  dengan kami. Saya terus terang saya bingung dengan tingkah lakunya terhadap kami teman-temannya.Saat ini, Claire sudah berusia pertengahan 30an, saya mendenga dia suah menikah 2 kali.Pernikahan yang diawali penuh gairahan, namun berakhir dngan kekacauan karena Claire pada akhirnya kembali dirawat di rumah sakit jiwa.Saat ini, dia tidak lagi berhubungan dengan kedua mantan suaminya dan merasa hidupnya sudah mulai tenang baginya.Claire mengakui bahwa dia jarang merasa bahagia, namun dia merasa bahwa sudah lebih baik dan mampu bekerja dengan baik sebagai agen perjalanan. Dia beberapa kali mencoba unt uk berhubunganlagi dengan kaum pria, namun dia takut untuk menjalin hubungan yang lebih mendalam karena pengalaman terdahulu dengan para pria.

c.       Gangguan Kepribadian Histrionik
Individu dengan gangguan ini menampakkan tingkah laku yang cendrung ekstrovert, mudah terpengaruh dengan lingkungan, bersemangat, dan dramatis.Namun, individu ini tidak mampu untuk menciptakan hubungan yang mendalam dan menjaga hubungan dalam jangka waktu yang panjang.
Individu ini berusaha untuk mencari perhatian dengan lingkungannya.Sehingga individu ini cenderung berlebihan mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka dan membuat segala sesuatunya terlihat lebih penting dari kenyataannya.
Individu ini juga cenderung bergantung pada orang lain dengan menaruh kepercayaan sepenuhnya pada orang lain tersebut, sehingga individu ini mudah tertipu.
Berikut merupakan kriteria gangguan kepribadian histrionik berdasarkan DSM-IV-TR.
·         Pola pervasif dari emosionalitas yan eksesif dan mencari perhatian, yang bermula pada masa dewasa awal dan muncul di berbagai macam situasi.
·         Merasa tidak nyaman dalam situasi-situasi  di mana individu tidak menjadi pusat perhatian.
·         Interaksi dengan orang lain sering kali ditandai dengan perilaku yang menggoda atau provokatif secara seksual, yang tidak pada tempatnya.
·         Memperlihatkan ekspresi emosi yang berubah-ubah dengan cepat.
·         Secara konsisten menggunakan penampilan fisik untuk menarik perhatian.
·         Gaya berbicara yang kurang mengandung detail.
·         Mudah dipengaruhi oleh orang lain dan keadaan.
·         Menganggap hubungannya lebih intim disbanding degan kenyataan.

Contoh kasus histrionik:
Seorang wanita berusia sekitar 20-an tahun dan telah menikah serta memiliki seorang anak yang masih bayi. Dia dikeluhkan oleh keluarganya karena seringkali pingsan dan setelah diperiksa ke dokter ternyata tidak di temuakan gangguan fisik apapun. Ibunya menuturkan bahwa hingga SMP sang anak masih tidur dengan ayah dan ibunya. Seluruh keinginannya harus dipenuhi, cenderung ”bandel” namun sangat disayang oleh ayahnya. Sejak kecil, sang anak memang sering kali  terjatuh secara tiba-tiba, namun setelah menikah gejalanya semakin parah (sang anak menikah karena telah hamil di luar pernikahan). Berkali-kali sang anak pingsan. Apabila sedikit tersinggung biasanya akn langsung pingsan dan baru tidak lama kemudian membaik setelah orang-orang di sekitarnya tampak panik membantu dia.

d.      Gangguan Kepribadian Narsistik
Individu dengan gangguan kepribadian narsistik memiliki keyakinan bahwa dirinya merupakan orang yang penting dan special.Sehingga individu ini berharap mendapatkan perlakuan yang special pula dari lingkungannya. Oleh karena itu, individu ini sangat tidak bisa menerima kritik dari orang lain yang mengakibatkan mereka memiliki hubungan yang kurang baik dengan orang lain.
Berikut merupakan kriteria gangguan kepribadian narsistik berdasarkan DSM-IV-TR.
·         Pola pervasif dari kebutuhan untuk dipuji yang bermula pada masa dewasa awal.
·         Merasa bahwa dirinya adalah orang penting.
·         Terpreokupasi dengan fantasi-fantasi tentang kesuksesan, kecerdasan, kecantikan, atau cinta yang ideal yang tanpa batas.
·         Memiliki keyakinan bahwa dirinya istimewa, sehingga harus diperlakukan dan berhubangan dengan orang yang istimewa pula.
·         Minta dipuji secara eksesif.
·         Mengeksploitasi orang lain untuk mencapai tujuannya.
·         Kurang memiliki empati.
·         Sering iri terhadap orang lain atau percaya bahwa orang lain iri padanya.
·         Bersikap arogan.

Contoh kasus narsistik:
David berprofesi sebagai pengacara dan berusia awal 40an. Dia pertama kali datang mengunjungi psikolog untuk mengatasi mood negatifnya.Sejak awal pertemuan tampak bahwa David sangat menaruh perhatian pada penampilannya.Dia secara khusus menanyakan pendapat terapis mengenai baju setelan model terbaru yang dikenakannya dan juga sepetu barunya.David juga bertanya kepada terapis tentang mobil yang digunakan dan berapa banyak klien kelas atas yang ditangani oleh terapis tersebut.David sangat ingin memastikan bahwa dia sedang berhubungan dengan seseorang yang terbaik bidangnya.David bercerita tentang kesuksesannya dalam bidang akademis dan olahraga, tanpa mampu memberikan bukti apapun yang memastikan keberhasilannya. Selama bersekolah di sekolah hukum, dia adalah seorang work- aholic, penuh akan fantasi akan keberhasilannya hingga tidak memiliki waktu untuk isterintya. Setelah anak mereka lahir, David semakin sedikit menghabiskan waktu dengan keluarganya. Tidak lama setelah dia memliki pekerjaan yang mapan, David menceraikan isterinya karena tidak lagi membutuhkan bantuan ekonomi dario sang istri. Setelah perceraian tersebut, David memutuskan bahwa dia benar-benar bebas untuk menikmati hidupnya.Dia sangat suka menghabiskan uang untuk dirinya sendiri, misalnya dengan menghias apaartemennya dengan berbagai benda-benda yang sangat menarik perhatian.Dia juga seringkali berhubungan dengan wanita-wanita yang sangat menarik.Dalam pergaulannya, David merasa nyaman apabila dirinya menjadi pusat perhatian semua orang. Dia pun merasa nyaman ketika dia berfantasi mengenai kepopuleran yang akan diraihnya, mendapatkan suatu penghargaan, ataupun memiliki kekayaan berlimpah (sumber : Barlow & Durant, 1995).

3.      Kluster C (Ketakutan)
Gangguan kepribadian yang terdapat di cluster ini memiliki ciri yang tampak selalu cemas dan ketakutan.
a.       Gangguan Kepribadian Menghindar (Avoindant)
Ciri utama dari gangguan kepribadian ini adalah sangat sensitif dengan penolakan dan kritik, sehingga individu dengan gangguan ini akan menampakkan tingkah laku yang menghindar. Individu dengan gangguan kepribadian menghindar sering salah paham dengan kritikan dari orang lain untuknya. Individu ini menganggap bahwa kritikan tersebut sebagai penghinaan untuk dirinya.
Berikut merupakan kriteria gangguan kepribadian menghindar berdasarkan DSM-IV-TR.
·         Pola pervasif dari hambatan sosial dan hipersensitif terhadap evaluasi negative, yang berawal sejak masa dewasa awal.
·         Menghindari aktivitas-aktivitas okupasional yang melibatkan kontak interpersonal signifikan karena takut dikritik atau ditolak.
·         Tidak mau terlibat dengan orang-orang kecuali bila merasa yakin bahwa dirinya akan disukai.
·         Menjauhi hubungan intim karena takut dipermalukan atau dicemooh.
·         Terokupasi dengan kritikan atau penolakan diberbagai situasi sosial.
·         Hambatan dalam menghadapi situasi interpersonal baru karena merasa tidak adekuat (memenuhi syarat).
·         Memandang diri sendiri sebagai orang yang tidak menarik, tidak layak, atau inferior secara sosial.
·         Keengganan yang tidak lazim untuk mengambil risiko pribadi atau untuk terlibat dalam aktivtas baru karena takut dipermalukan.

Contoh kasus avoindant:
Jane tumbuh dan dibesarkan oleh seoarang ibu yang merupakan pecandu alkohol dan sering kali melakukan penyiksaan terhadap jane baik secara fisik maupun verbal. Sejak kecil jane menganggap bahwa perilaku ibunya disebabkan karena dirinya sangat tidak berharga hingga layak diperlakukan seperti itu. Saat ini jane telah berusia akhir 20an tahun dan dia tetap berharap bahwa dirinya akan ditolak oleh orang lain, begitu orang lain menyadari bahwa dirinya tidak berharga atau buruk. Selain itu jane sangat kritis terhadap dirinya sendiri dan selalu meramalkan bahwa dirinya tidak akan dapat diterima oleh lingkungan. Dia selalu berfikir bahwa orang lain tidak akan menyukai dirinya, bahwa orang lain akan melihat dirinya sebagai pecundang dan dia tidak mungkin dapat melawan hal-hal itu.apabila seorang penjual koran tidak tersenyum pada jane, maka secara otomatis jane akan berfikir bahwa itu disebabkan karena dirinya tidak berharga dan tidak disukai oleh orang lain. Setelah itu dia akan merasa sangat sedih .bahkan ketika jane mendapatkan respon yang positif dari teman-temannya, dia tidak pernah memperdulikan hal itu. jane lebih terfokus pada pemikirannya sendiri. Oleh karena itu dia hanya memiliki sedikit teman dan tidak ada satupun yang dekat dengan dirinya (sumber: Barlow & Durand,1995).

b.      Gangguan Kepribadian Tergantung (Dependent)
Individu dengan kepribadian ini, cenderung bergantung pada orang lain. Individu ini memiliki rasa percaya diri yang rendah dan merasa tidak nyaman jika harus sendirian.Individu ini cenderung bersikap patuh dengan nasehat atau kritikan.Namun, individu tidak mampu mengambil keputusan tanpa adanya nasehat atau kritik dari lingkungannya.
Berikut merupakan kriteria gangguan kepribadian tergantung berdasarkan DSM-IV-TR.
·         Kebutuhan pervasif dan eksesif untuk diurusi orang lain yang menghasilkan perilaku submisif dan takut berpisah, yang berawal pada masa dewasa awal.
·         Kesulitan dalam mengambil keputusan sehari-hari tanpa nasihat dan dukungan dari orang lain.
·         Menyandarkan diri pada orang lain untuk memikul tanggung jawab di bidang-bidang yang penting dalam kehidupannya.
·         Kesulitan dalam mengekspresikan tidak setuju dengan orang lainkarena takut kehilangan dukungan atau karena kurangnya rasa percaya diri.
·         Berusaha keras untuk mendapat dukungan dan perhatian dari orang lain.
·         Ingin segera mendapatkan hubungan baru untuk dijadikan sumber perhatian dan dukungan bila sebuah hubungan dekat berakhir.
·         Terpreokupasi secara tidak rasional dengan ketakutan untuk ditinggalkan dan harus mengurus diri sendiri.

Contoh kasus dependent:
Seorang laki-laki berusia sekitar 40th dan telah menikah datang dengan keluhan sulit untuk mengambil keputusan dan merasa tidak nyaman dengan jabatannya di perusahaan. Saat ini ia menjabat sebagai kepala administrasi. Jabatan sebelumnya adalah staf administrasi.Sebelumnya dia merasa nyaman karena hanya bekerja dibelakang meja dan menerima perintah dari atasan.Setelah dipromosikan, akhirnya dia menjadi seorang pemimpin dan harus mengambil keputusan. Biasanya dia akan langsung merasakan cemas hingga deg-degan apabila harus mengambil keputusan. Akhirnya dia menunda keputusan itu, namun kemudian menyerahkan kepada orang lain untuk mengambil keputusan. Kondisi didalam keluarganya pun tidak jauh berbeda, seluruh keputusan diserahkan kepada istrinya, bahkan dia tidak pernah memilih atau membeli baju sendiri.selama bekerja dia selalu menghindar untuk pergi tugas keluar kota. Alasannya karena tidak ingin jauh dari istri dan yidak memungkinkan pula bagi istrinya untuk ikut pindah ke luar kota. Setelah ditelusuri diketahui bahwa ibunya telah meninggal dunia ketika remaja, padahal iu orang terdekat baginya. Sejak saat itu, ayahnya memegang peranan menentukan segala hal bagi dia, mulai dari memilih sekolah hingga pekerjaan.Walupun tidak suka, biasanya dia menuruti instruksi dari ayahnya.

c.       Gangguan Kepribadian Obsesif-Kompulsif
Ciri utama dari gangguan kepribadian ini adalah individu cenderung bersikap perfeksionis.Individu dengan gangguan ini juga bersikap keras kepala, bimbang, dan sangat teratur.Sehingga menampakkan perilaku yang selalu mengulang-ngulang melakukan suatu hal.
Berikut merupakan kriteria gangguan kepribadian obsesif-kompulsif berdasarkan DSM-IV-TR.
·         Pola pervasif dari preokupasi dengan keteraturan, perfeksionisme, dan control mental dan interpersonal dengan mengorbankan fleksibilitas, keterbukaan, dan efisiensi, yang berawal pada masa dewasa awal.
·         Terpreokupasi dengan detail, peraturan, daftar, organisasi, atau jadwal sampai ke tingkat kehilangan poin pokok aktivitasnya.
·         Perfeksionisme yang mengganggu penyelesaian tugas.
·         Menyerahkan diri pada pekerjaan dan produktivitas sampai ke tingkat eksesif sehingga melupakan kegiatan hiburan dan pertemanan.
·         Terlalu teliti, cermat, dan tidak fleksibel tentang masalah-masalah terkait dengan moralitas, etika, atau nilai-nilai sosial.
·         Tidak mampu mengabaikan benda-benda yang tidak penting meskipun benda-benda tersebut sama sekali tidak memiliki nilai sentimental.
·         Tidak mau mendelegasikan tugas atau bekerja sama orang lain kecuali jika mereka mau mengikuti cara kerjanya.
·         Mengadopsi sikap kikir baik terhadap diri sendiri maupun orang lain, karena takut tidak memiliki simpanan bila terjadi bencana di masa dantang.
·         Keras kepala.

Contoh kasus obsesif-kompulsif:
Setiap hari tepat pada pukul 8 pagi, danil tiba di universitas dimana dia menjadi mahasiswa di fakultas psikologi. Dalam perjalanan menuju universitas dia selalu berhenti di toko seven eleven untuk membeli kopi dan surst kabar (setiap hari kopi dan surat kabar yang sama). Dari pukul 8 hingga 9.15, danil akan merapikan file-file yang terdiri dari ratusan kertas yang berhubungan dengan S3-nya, yang sudah melewati batas waktu pengerjaan. Pada pukul 10.00 pagi hingga waktu makan siang, dia akan membaca sebuah paper atau jurnal serta menggarisbawahi hal-hal yang berhubungan dengan disertasinya. Siang hari, pukul 12.00 siang, dia akan membawa katung makanannya yang selalu berisi roti sandwich dengan selai kacang dan sebuah apel, lalu pergi kesebuah kafe untuk membeli soda dan duduk seoarng diri memakan siangnya.dari pukul 13.00-17.00 dia akan mengikuti beberapa pertemuan,merapikan mejanya,membuat daftar tentang apa yang harus dikerjakannya dan memasukkan beberapa data kedalam komputernya. Setelah dia tiba dirumah, dia akan makan malam bersama istrinya, lalu berurusan lagi dengan disertasinya. Danil selalu rutin “mengerjakan” disertasinya hingga pukul 23.00, walaupun sebagian besar dari waktu tersebut digunakannya untuk koneksi internet yang tidak berkaitan dengan disertasinya. Danil sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa dia akan menyelesaikan disertasinya sejak 4,5 tahun yang lalu. Istrinya pun sudah mengancam akan meninggalkan danil karena tidak tahan lagi dengan tingkah lakunya. Danil kemudian mendatangi terapist dengan keluhan cemas akan hubungan dengan istrinya, namun dia kemudian didiagnosa memiliki gangguan kepribadian obsesif-kompulsif (sumber Barlow & Durand, 1995).

4.      Pendekatan Teoretis dalam Membahas Gangguan Kepribadian
Pendekatan teoretis ini akan membahas penyebab terjadinya gangguan kepribadian dan penanganan gangguan kepribadian dengan menggunakan beberapa sudut pandang, yaitu:

a.       Sudut pandang psikodinamik
Sudut pandang ini menyatakan bahwa penyebab terjadinya gangguan kepribadian itu berasal dari masa kanak-kanak. Misalnya orang tua yang selalu menyiksa anaknya ketika masa kanak-kanak anaknya, akan menjadikan anak tersebut tumbuh menjadi individu dewasa yang memiliki gangguan kepribadian paranoid yang menganggap bahwa lingkungannya selalu mengancam dirinya.
Cara penanganan gangguan kepribadian menurut sudut pandang ini adalah dengan membangunkan id klien unntuk mencari masalah-masalah yang terjadi pada masa kanak-kanaknya, lalu klien akan dibimbing terapis untuk menyelesaikan masalahnya. Selain itu, klien juga akan diberikan motivasi.

b.      Sudut pandang biologis
Sudut pandang ini memandang bahwa terjadinya gangguan kepribadian disebabkan oleh faktor genetik yang dibawa dari orang tua. Misalnya pada keluarga yang memiliki penderita skizofrenia lebih besar kemungkinan untuk melahirkan individu yang mengalami gangguan skizotipal. Sehingga, penanganan yang digunakan sudut pandang ini lebih kepada terapis obat.

c.       Sudut pandang behavioral
Sudut pandang ini menganggap bahwa kesalahan orang tua dalam memberikan reward dan punish akan menghasilkan individu dengan gangguan kepribadian karena dalam masa perkembangannya tidak terlatih kepekaannya dalam membedakan yang mna yang seharusnya dilakukan dan yang mana yang tidak. Misalnya anak yang salah tidak pernah diberikan hukuman oleh orang tuanya, malah diberikan pujian. Hal ini akan menjadikan anak tersebut pada dewasanya menjadi individu yang memiliki gangguan kepribadian antisosial.
Penanganan digunakan sudut pandang ini dengan cara mengindentifikasi dan memperbaiki kepekaan dan keterampilan/kemampuan klien dalam membedakan yang mana yang seharusnya dilakukan dan yang mana yang tidak.

d.      Sudut pandang kognitif
Sudut pandang ini menyatakan bahwa penyebab terjadinya gangguan kepribadian karena keyakinan yang salah dalam diri seseorang ataupun penerimaan informasi yang salah. Misalnya seorang yang terlalu meyakini bahwa dirinya merupakan seorang yang lebih istimewah dari orang lain, maka individu ini akan tumbuh menjadi individu yang memiliki gangguan kepribadian narsistik.
Penanganan yang digunakan dalam sudut pandang ini adalah dengan cara membangun hugungan yang baik antara terapis dengan klien. Baik disini maksudnya hubungan yang erat dan sehat. Hal ini dilakukan secara bertahap, sampai akhirnya terapis dapat memperbaiki keyakinan yang salah dalam diri klien.












DAFTAR PUSTAKA


Davison, Gerald C. dkk. 2006. Psikologi Abnormal. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Durand, V. Mark dan David H. Barlow. 2006. Intisari Psikologi Abnormal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Fitri Fausiah dan Julianti Widury. 2005. Psikologi Abnormal Dewasa Klinis. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia
King, Laura A. 2010. Psikologi Umum: Sebuah Pandangan Apresiatif. Jakarta: Salemba Humanika
Lahey, Benjamin B. 2007 Psychology An Introduction. New York: McGraw-Hill

Sumber lain:
http://janokogalls.blogspot.com/2011/12/makalah-gangguan-kepribadian.html
http://naruto-skizofrenia.blogspot.com/2009/12/skizofrenia.html
http://psikologi.or.id/psikologi-kognitif/skizofrenia.htm



0 comments:

Post a Comment